Sabtu, 30 Maret 2013

Ruwatan bag 2 ( Selesai )

Yang perlu atau harus di Ruwat 

Menurut kepustakaan "Pakem Ruwatan Murwa Kala" Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang Sukerta ada 60 macam penyebab malapetaka, yaitu sebagai berikut :

1.    Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2.   Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3.   Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan
4.   Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki
5.  Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta).
6.  Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar dampit yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan)
7.   Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan
8.  Kedhana-Kedhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
9.    Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10.  Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan
11.   Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya laki-laki
12.   Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan
13.   Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki
14.   Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan
15.  Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16.   Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari
17.   Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang
18.   Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19.   Jempina, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir
20.   Tiba Sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21.   Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22.   Wahana, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah
23.   Siwah atau Salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macem warna, misalnya hitam dan putih
24.   Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih bule.
25.   Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
26.   Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil
27.   Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok
28.   Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta
29.   Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek
30.   Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya Candikala, yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan
31.   Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas (tikar)
32.   Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan Dandhang (tempat menanak nasi)
33.   Memecahkan Pipisan dan mematahkan Gandik (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
34.   Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada tutup keyong-nya.
35.   Orang tidur di atas kasur tanpa sprei (penutup kasur).
36.   Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang.
37.   Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38.   Orang yang menempatkan barang di suatu tempat (dandhang, misalnya) tanpa ada tutupnya.
39.   Orang yang membuat kutu masih hidup.
40.   Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41.   Orang yang duduk didepan (ambang) pintu.
42.   Orang yang selalu bertopang dagu.
43.   Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44.   Orang yang mengadu suatu wadah atau tempat (misalnya dandhang diadu dengan dandhang)
45.   Orang yang senang membakar rambut.
46.   Orang yang senang membakar tikar dengan bambu (galar).
47.   Orang yang senang membakar kayu pohon kelor.
48.   Orang yang senang membakar tulang.
49.   Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus.
50.   Orang yang suka membuang garam.
51.   Orang yang senang membuang sampah lewat jendela.
52.   Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah (di kolong) tempat tidur.
53.   Orang yang tidur pada waktu matahari terbit.
54.   Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam (wayah surup).
55.   Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang (wayah bedhug)
56.   Orang yang tidur di waktu siang hari bolong jam 12 siang.
57.   Orang yang menanak nasi, kemudian ditinggal pergi ketetangga
58.   Orang yang suka mengaku hak orang lain.
59.   Orang yang suka meninggalkan beras di dalam lesung (tempat penumbuk nasi)
60.   Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran wijen (biji-bijian)

Menurut Pustaka Raja Purwa (jilid I halaman 194) karya pujangga R.Ng Ranggawarsito disebutkan ada 136 macam Sukerta. Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang tergolong di dalam kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan diri dari malapetaka (menjadi makanan Betara Kala) tersebut, jika ia mempergelarkan wayangan atau ruwatan dengan cerita Murwakala. Ada juga lakon ruwatan yang lain misalanya: Baratayuda, Sudamala, Kunjarakarna dan lain-lain.

Selain Sukerta, terdapat juga Ruwat Sengkala atau Sang Kala, yang artinya menjadi mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum alam (ruang dan waktu) ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah lakunya pada masa lalu. 
Karena hal tersebut diatas, dipandang perlu bagi setiap pelaku kaweruh Jendra Hayuningrat, untuk senantiasa mengikuti perayaan Ruwahan, tepatnya setiap tanggal 14 malam bulan Ruwah almenak Jawa. yaitu sebuah acara yang dibangun bersama-sama oleh seluruh pelaku Kaweruh Jendra, dengan memohon restu guru lantaran atau pinisepuh paguyuban pamencar kaweruh kasepuhan masing-masing.

Sang pinisepu akan bertindak sebagai dalang "Kandabuwana" yang akan bermeditasi sekaligus menghadirkan Bethara Guru ( Guru Sejati ) yang selanjutnya karena kekuasaan Beliu maka sang Kala akan tunduk pada kewibawaannya.  dengan demikian maka akan terbebaslah dari amuk sang "Kala" setiap siswa Jendra yang mengikuti ruwatan masal ini. Rahayu.......!


Jumat, 29 Maret 2013

Ruwatan bag 1


Rahayu.......!
Ruwatan adalah Tradisi ritual Jawa dan Ajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat sebagai sarana pembebasan dan penyucian sesorang atas dosa/kesalahannya, yang apabila ditinjau dari sudut pandang kaweruh Jendra Hayuningrat bisa berdampak kesialan dalam diri seseorang secara terus-menerus didalam hidupnya.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.

Dalam ungkapan “Crah agawe bubrah, rukun agawe santosa" menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Ojo Dumeh (merasa dirinya lebih), Mulat sarira, hangrasa wani (mawas diri, instropeksi diri), Mikul dhuwur, mendhem jero (menghargai dan menghormati serta menyimpan rahasia orang tua), Jer basuki mawa beya (kesuksesan perlu atau butuh pengorbanan), dan Ajining diri saka obahing lati (harga diri tergantung ucapannya).

Prinsip pengendalian diri dengan Mulat Sarira, suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta Ojo Dumeh adalah peringatan kepada kita bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya yang masih mempunyai arti sangat luas.

Kepercayaan terhadap keberadaan roh nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama dan bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adapt-istiadat masyarakat Jawa, yaitu: Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran, Akomodatif serta Optimistik.

Berbagai ucapan dan ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa bermakna Piwulang atau pendidikan moral, karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual, menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati.
Terkemas hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan gending-gending serta kesenian wayang kulit purwa yang perkembanganya mempunyai warna yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju setelah mengenal segala bentuk kesenian dari India dan menjadi sempurna begitu masuk agama Islam di Pulau Jawa.

Paham mistik Jawa yang berpokok “Manunggaling Kawula Gusti" (persatuan manusia dengan Tuhannya) dan "Sangkan Paraning Dumad " (asal dan tujuan ciptaan) bersumber pada pengalaman religius. Berawal dari sana, manusia itu rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber muaranya. Perumusan pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Jawa Tutur, Kidung dan Suluk.

Wayang sebagai pertunjukan, merupakan ungkapan-ungkapan dan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang, bahasa gerak, suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius yang kuno seperti tampak bahwa pada tahap perkembangannya dewasa ini, masih berperan pula mitos dan ritus, misalkan pada lakon Ruwat atau Murwa Kala.

Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak hanya sekedar tontonan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya, namun juga merupakan tatanan yang harus dititeni kanti titis (merupakan hukum alam yang maha teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana) untuk menuju kasunyatan serta mencapai kehidupan sejati. Bagi manusia Jawa (manusia yang mengerti sejati) wayang merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku dengan sesama dan bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat berhubungan dengan sang penciptanya.

Tradisi upacara /ritual ruwatan hingga kini masih dipergunakan orang jawa maupun para pelaku kaweruh Jendra Hayuningrat, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosa/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam tradisi Jawa, orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto (berada dalam dosa), maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Bethari Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.

Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia), dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran, atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).

Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut: Gamelan (alat musik jawa), Wayang (komplit satu kotak), Kelir atau (kain layar), dan Blencong yaitu lampu dari minyak. 

Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
1.  Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
2.  Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta dupa (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
3.  Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
4.  Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
5.  Bermacam-macam nasi antara lain: Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dan sebagainya. Nasi wuduk dilengkapi dengan ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau bawang merah, kedele hitam. Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
6.  Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang abang, jenang putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
7.  Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam jajanan) seperti: pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
8.  Lawe (benang untuk teneun), minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong (walaupun siang tetap memakai lampu blencong).
9.  Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
10. Yang berupa sajen antara lain: rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading lima ros. Kesemuanya itu diletakan di atas tampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kluban, panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak tanpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
11. Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai do’a (puji/mantra) mohon keselematan.
12. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
13. Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan. Rahayu...!

Kamis, 28 Maret 2013

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 14 ( selesai )

Pantaskah Kita Memohon?

Rahayu....! Menimba dari pengalaman para pelaku Jendra, ada sebuah rumusan do'a atau permohonan yang dapat menghasilkan pioritas serta memberikan hasil akhir yang menggembirakan, apabila isi dari do'a atau permohonan kita berharap agar kita diberi kesadaran diri, kemampuan, kekuatan dan kemudahan ( bhs Jawa : anom ) didalam melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan jagad raya dan seisinya, atau beramal kebaikan kepada seluruh makhluk sebagai upaya menghayati konsep ketuhanan atau netepi titahing Gusti, maka itulah permohonan yang menduduki ranking pertama paling pantas dan yang ideal dilakukan manusia kepada sang Pencipta. Maka do'a atau permohonan-permohonan yang lainnya menduduki ranking berikutnya.


Titik Temu Rasio dan Spirit

        Untuk itu tugas manusia adalah mampu nggayuh kawijcaksananing Gusti. Mampu memahami apa yang menjadi kehendak alam atau kehendak Tuhan. Dengan berbagai cara yang ditempuh misalnya olah rasa atau olah batin, yakni mengolah kepekaan indera kita yang keenam. Lalu membuka wawasan pikir seluas-luasnya dengan mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sebab ilmu pengetahuan akan menjadi tiang penyangga agama. Sebaliknya kesadaran spiritual akan menuntun ilmu pengetahuan bekerja sinergis dan harmonis dalam koridor hukum alam. Target utamanya adalah terbukanya kesadaran rahsa sejati yang menyempurnakan kesadaran rasio ataupun akal-budi, inilah yae menjadi estetika, filsafat serta budaya manembah orang-orang Jawa...Nuwun... Rahayu....! ( Ki Budi Siswanto )



Minggu, 24 Maret 2013

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 13


Bersyukur Yang Egois

Rahayu....!
         Dalam upaya mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan, manusia sering melakukannya secara egoistis. Di mulutnya mengucapkan hamdalah atau Puji Tuhan atau kalimat-kalimat lainnya. Namun kalimat itu hanya sebatas mulut saja (lips service). Sedangkan hatinya, pikirannya, dan perbuatannya tidak menunjukkan adanya harmonisasi dan sinergisme dengan kalimat syukur yang keluar dari mulut. Kita seharusnya selalu eling dan waspada, karena beginilah bentuk kemunafikan paling halus yang sering tidak disadari oleh manusia.

       Pencapaian kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang tak pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah Tasawuf merupakan bentuk zikir tanpa putus, sedangkan dalam tradisi SSJ ( Syekh Siti Jenar ) dikenal sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan dalam setiap hela nafasnya. Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas ucapan mulut atau dalam batin saja. Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk perbuatan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat unsur dalam diri kita yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan. Dan dilakukan secara sinkron serta kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut.



Ciptakan Medan Magnet
         Rasa syukur serta ketulusan-keikhlasan idealnya didasari oleh kesadaran bahwa setiap detik kita telah berhutang ratusan anugrah dan nikmat Tuhan. Berbuat baik hendaknya didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan rasa syukur tersebut ke dalam perbuatan konkrit. Perbuatan atau amal baik yang kita lakukan ibarat kita sedang membayar hutang. Bagaimana mungkin kita membayar hutang akan tetapi kita meminta imbalan? Nah, Perlu diketahui, walaupun laku perbuatan kita dilandasi sikap tanpa pamrih, alias tulus ikhlas. Hal ini bukan berarti bahwa apa yang kita lakukan hanyalah sebuah sia-sia’an belaka bahkan seola-ola tidak ada efek positifnya. Perlu di pahami, perbuatan baik kita (ibadah yang berupa sembahyang dan amal perbuatan baik) ditujukan semata-mata sebagai laku netepi titahing Gusti. Artinya, sudah sewajarnya manusia hidup di bumi berbuat baik. Oleh karena itu tidak ada yang istimewa di dalamnya. Apabila perilaku baik itu dilakukan tanpa diminta/dimohon dan dilakukan dengan tulus, hal ini ibarat menciptakan pusaran magnet yang mampu secara otomatis menebarkan medan magnet (kebaikan) kepada orang lain lalu mengundang senyawa (kebaikan) yang sama.

           Inilah rumus Tuhan atau kodrat alam. Secara otomatis rumus Tuhan akan berjalan dengan sendirinya, bahwa perbuatan baik akan memancarkan sekaligus mengundang segala kebaikan datang menghampiri diri kita. Sebaliknya perbuatan jahat akan mendatangkan keburukan pada diri kita. Kebaikan yang menghampiri berupa kemuliaan hidup (surga) di dunia maupun setelah kita terlahir ke dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Sebaliknya keburukan yang menghampiri berupa kehidupan yang hina dan aniaya (neraka). Jika kita mau mencermati kitab Sastra Jendra yang tergelar di jagad gumelar ini, bukankah sudah tampak rumus-rumus dengan jelas. Bahwa tiap-tiap senyawa yang sama memiliki kekuatan untuk saling menyatu. Maka terdapatlah berbagai macam aliran, faham, kepentingan yang bersifat konstruktif maupun destruktif masing-masing menyatu dalam wadah kelompok atau golongan yang sama dan senyawa. Melingkupi yang wadag maupun yang gaib. Maka marilah kita bahu membahu menciptakan medan magnet yang mulia, untuk kelestarian alam semesta ini...inilah yang secara turun temurun di ajarkan kepada anak cucu Nusantara melalui budaya...Rahayu...!