Masih berpengaruhkah ajaran Syekh Siti Jenar
di jaman modern ini?
Agama = ageming aji, yaitu agama sebagai nilai-nilai
luhur yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia. Itulah Tema sebuah seminar/sarasehan
budaya pernah saya ikuti dalam acara Lintas Agama, adalah sesuai dengan sila
pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dalam bingkai ageming aji bukanlah agama dalam arti
golongan atau agama sebagai organisasi (organized religion), tetapi agama
sebagai basis moralitas dan perilaku manusia.
Agama dalam
arti ini pernah menjadi polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara
(karena waktu itu Indonesia belum lahir) dan tepatnya di P. Jawa pada
pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16.
Tokoh
sentral dalam polemik dan perang wacana pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar
atau dikenal dengan nama Syekh Lemah Abang. Dia seorang guru dan pelaku
spiritual yang mengajarkan agama sebagai
jalan hidup dan bukan sebagai
kepercayaan. Meskipun Syekh seorang muslim, tetapi ajarannya menarik
berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang ada waktu itu. Mereka yang belajar
dan menjadi murid Syekh berasal dari berbagai kalangan, baik kalangan elite
(yaitu para adipati) maupun rakyat biasa. Mereka berasal dari pemeluk Hindu,
Buddha, Islam, Kristen dan pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu
itu.
Apa yang
diajarkan oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya tarik ajarannya luar biasa dan
menyebabkan penguasa Kesultanan Demak Bintara kegerahan waktu itu? Yang
diajarkan sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi mereka yang hidup di Kep.
Nusantara waktu itu. Yang diajarkan adalah paham MKG (Manunggaling Kawula
Gusti), yaitu satunya hamba dengan Tuhan. Paham ini sudah ada di agama Hindu
dan Buddha yang sebelum berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk oleh mayoritas
penduduk Nusantara. Paham ini diikuti oleh kalangan sufi dalam agama Islam.
Bahkan, mereka yang dikenal sebagai anggota Walisanga juga berpaham MKG.
Padahal, berdasarkan sejarah Walisanga yang bergelar sunan itu adalah pendukung
dan penasehat Sultan Demak di zaman itu.
Meskipun
Walisanga dan Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi pada tataran implementasinya
dalam kehidupan berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG merupakan landasan, jalan dan
alat untuk menjadikan manusia merdeka sejati. MKG menggerakkan manusia untuk
menjadi dirinya sendiri, menjadikan manusia yang memiliki kepribadian. Inilah
inti dari MKG yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Tentu pikiran semacam ini
melompat terlalu jauh ke depan pada zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun
yang lalu, dewasa ini saja sebagian besar orang tidak hidup sebagai pribadi,
tetapi hidup berdasarkan pikiran orang lain. Sedangkan MKG yang diajarkan oleh
Walisanga lebih bersifat teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata dalam
kehidupan masyarakat.
Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, sedangkan Walisanga justru melanggengkan sistem feodalisme. Syekh membangkitkan kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan rajanya (Gusti). Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah raja. Syekh membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik, sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat kekuasaan.
Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, sedangkan Walisanga justru melanggengkan sistem feodalisme. Syekh membangkitkan kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan rajanya (Gusti). Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah raja. Syekh membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik, sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat kekuasaan.
Puncak pertarungan paham berakhir ketika Sultan Patah memerintahkan Walisanga untuk menghentikan kegiatan mengajar Syekh dan pengikutnya dihancurkan. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan meski demikian, ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Rakyat patuh kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan elite berebut kekuasaan. Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak jatuh disusul dengan berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang hilang dan muncul Mataram.
Karena
rakyat bodoh dan elite kerajaan berebut kekuasaan, maka Mataram hanya dalam
kurun waktu 50 tahun berdiri sudah goyah karena adanya infiltrasi VOC, yang
akhirnya Mataram menjadi negara taklukan VOC. Hal ini saya sampaikan dalam
seminar/sarasehan ini agar dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia.
Dengan memperhatikan kembali ajaran Syekh Siti Jenar kita akan dididik untuk
menjadi manusia merdeka, sehingga siap untuk menahan gangguan dan ancaman asing
agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus terjajah oleh negara lain dalam
segala bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar