Rahayu.......!
Ruwatan adalah Tradisi ritual Jawa dan Ajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat sebagai
sarana pembebasan dan penyucian sesorang atas dosa/kesalahannya, yang apabila ditinjau dari sudut pandang kaweruh Jendra Hayuningrat bisa
berdampak kesialan dalam diri seseorang secara terus-menerus didalam hidupnya.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur
Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan
hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki
identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat
nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai
perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.
Dalam ungkapan “Crah agawe bubrah, rukun agawe santosa" menghendaki
keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati.
Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang mengandung pendidikan moral, banyak
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Ojo Dumeh (merasa dirinya lebih), Mulat sarira, hangrasa wani (mawas diri, instropeksi diri), Mikul dhuwur, mendhem jero (menghargai
dan menghormati serta menyimpan rahasia orang tua), Jer basuki mawa beya (kesuksesan perlu atau butuh pengorbanan), dan
Ajining diri saka obahing lati (harga
diri tergantung ucapannya).
Prinsip pengendalian diri dengan Mulat Sarira, suatu sikap bijaksana
untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta Ojo Dumeh adalah peringatan kepada kita
bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan
lain sebagainya yang masih mempunyai arti sangat luas.
Kepercayaan terhadap keberadaan roh
nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama dan bahkan memberi
warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adapt-istiadat masyarakat Jawa,
yaitu: Sinkretisme, Tantularisme dan
Kejawen yang bersifat Toleran, Akomodatif
serta Optimistik.
Berbagai ucapan dan ungkapan Jawa,
merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa bermakna Piwulang atau pendidikan moral, karena adanya pertalian budi
pekerti dengan kehidupan spiritual, menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap
kehidupan sejati.
Terkemas hampir sempurna dalam seni
budaya gamelan dan gending-gending serta kesenian wayang kulit purwa yang
perkembanganya mempunyai warna yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang
pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju setelah
mengenal segala bentuk kesenian dari India dan menjadi sempurna begitu masuk
agama Islam di Pulau Jawa.
Paham mistik Jawa yang berpokok “Manunggaling Kawula Gusti"
(persatuan manusia dengan Tuhannya) dan "Sangkan
Paraning Dumad " (asal dan tujuan ciptaan) bersumber pada pengalaman
religius. Berawal dari sana, manusia itu rindu untuk bersatu dengan yang
Illahi, ingin menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber muaranya. Perumusan
pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh
agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan mistiknya yang khas,
seperti terlihat dalam kitab-kitab Jawa Tutur, Kidung dan Suluk.
Wayang sebagai pertunjukan,
merupakan ungkapan-ungkapan dan pengalaman religius yang merangkum
bermacam-macam unsur lambang, bahasa gerak, suara, warna dan rupa. Dalam wayang
terekam ungkapan pengalaman religius yang kuno
seperti tampak bahwa pada tahap perkembangannya dewasa ini, masih berperan pula
mitos dan ritus, misalkan pada lakon Ruwat
atau Murwa Kala.
Secara tradisional, wayang merupakan
intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak
hanya sekedar tontonan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku
dalam kehidupannya, namun juga merupakan tatanan yang harus dititeni kanti titis (merupakan hukum
alam yang maha teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana)
untuk menuju kasunyatan serta mencapai
kehidupan sejati. Bagi manusia Jawa (manusia yang mengerti sejati) wayang
merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku dengan sesama dan
bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat
berhubungan dengan sang penciptanya.
Tradisi upacara /ritual ruwatan
hingga kini masih dipergunakan orang jawa maupun para pelaku kaweruh Jendra Hayuningrat, sebagai sarana pembebasan dan
penyucian manusia atas dosa/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam
hidupnya. Dalam cerita wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan
di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa
kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang
telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau
menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual
dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi Jawa, orang yang
keberadaannya dianggap mengalami nandang
sukerto (berada dalam dosa), maka untuk mensucikan kembali, perlu
mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan
menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita
wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi
Bethari Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi
raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung". Ketika raksasa ini
menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan
agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian
dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual
ruwatan.
Kata Murwakala/purwakala berasal
dari kata purwa (asalmuasal manusia), dan pada lakon ini, yang menjadi titik
pandangnya adalah kesadaran, atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu
terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit dengan
lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut: Gamelan (alat musik jawa), Wayang
(komplit satu kotak), Kelir atau
(kain layar), dan Blencong yaitu
lampu dari minyak.
Selain peralatan tersebut diatas
masih diperlukan sesajian yang berupa:
1. Tuwuhan,
yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang
ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu
dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun
alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat
berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan
dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman
dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan
Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
2. Api
(batu arang) di dalam anglo, kipas
beserta dupa (ratus wangi) yang
akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
3. Kain
mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari
muka layar sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang,
sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan
memakai selimut kain mori putih.
4. Gawangan
kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan
kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah
menyebelah).
5. Bermacam-macam nasi antara lain: Nasi golong dengan perlengkapannya,
goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dan sebagainya. Nasi wuduk dilengkapi dengan ikan
lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau bawang merah, kedele
hitam. Nasi kuning dengan
perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
6. Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang
abang, jenang putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
7. Jajan
pasar (buah-buahan yang bermacam-macam jajanan) seperti: pisang raja,
jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa
blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu,
jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi
yang berisi air, empluk (periuk yang
berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang
satu sen).
8. Lawe
(benang untuk teneun), minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong (walaupun siang tetap memakai
lampu blencong).
9. Yang berupa hewan seperti burung dara satu
pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
10. Yang berupa sajen antara lain: rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa
garam), bambu gading lima ros. Kesemuanya itu diletakan di atas tampah yang berisi nasi tumpeng, dengan
lauk pauknya seperti kluban, panggang
telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak tanpa garam
dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
11. Sajen buangan
yang ditunjukkan kepada dhayang yang
berupa takir besar atau kroso yang
berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan
pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai do’a (puji/mantra)
mohon keselematan.
12. Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki
kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
13. Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima
ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam,
ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon
keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan. Rahayu...!