Minggu, 24 Maret 2013

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 13


Bersyukur Yang Egois

Rahayu....!
         Dalam upaya mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan, manusia sering melakukannya secara egoistis. Di mulutnya mengucapkan hamdalah atau Puji Tuhan atau kalimat-kalimat lainnya. Namun kalimat itu hanya sebatas mulut saja (lips service). Sedangkan hatinya, pikirannya, dan perbuatannya tidak menunjukkan adanya harmonisasi dan sinergisme dengan kalimat syukur yang keluar dari mulut. Kita seharusnya selalu eling dan waspada, karena beginilah bentuk kemunafikan paling halus yang sering tidak disadari oleh manusia.

       Pencapaian kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang tak pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah Tasawuf merupakan bentuk zikir tanpa putus, sedangkan dalam tradisi SSJ ( Syekh Siti Jenar ) dikenal sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan dalam setiap hela nafasnya. Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas ucapan mulut atau dalam batin saja. Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk perbuatan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat unsur dalam diri kita yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan. Dan dilakukan secara sinkron serta kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut.



Ciptakan Medan Magnet
         Rasa syukur serta ketulusan-keikhlasan idealnya didasari oleh kesadaran bahwa setiap detik kita telah berhutang ratusan anugrah dan nikmat Tuhan. Berbuat baik hendaknya didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan rasa syukur tersebut ke dalam perbuatan konkrit. Perbuatan atau amal baik yang kita lakukan ibarat kita sedang membayar hutang. Bagaimana mungkin kita membayar hutang akan tetapi kita meminta imbalan? Nah, Perlu diketahui, walaupun laku perbuatan kita dilandasi sikap tanpa pamrih, alias tulus ikhlas. Hal ini bukan berarti bahwa apa yang kita lakukan hanyalah sebuah sia-sia’an belaka bahkan seola-ola tidak ada efek positifnya. Perlu di pahami, perbuatan baik kita (ibadah yang berupa sembahyang dan amal perbuatan baik) ditujukan semata-mata sebagai laku netepi titahing Gusti. Artinya, sudah sewajarnya manusia hidup di bumi berbuat baik. Oleh karena itu tidak ada yang istimewa di dalamnya. Apabila perilaku baik itu dilakukan tanpa diminta/dimohon dan dilakukan dengan tulus, hal ini ibarat menciptakan pusaran magnet yang mampu secara otomatis menebarkan medan magnet (kebaikan) kepada orang lain lalu mengundang senyawa (kebaikan) yang sama.

           Inilah rumus Tuhan atau kodrat alam. Secara otomatis rumus Tuhan akan berjalan dengan sendirinya, bahwa perbuatan baik akan memancarkan sekaligus mengundang segala kebaikan datang menghampiri diri kita. Sebaliknya perbuatan jahat akan mendatangkan keburukan pada diri kita. Kebaikan yang menghampiri berupa kemuliaan hidup (surga) di dunia maupun setelah kita terlahir ke dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Sebaliknya keburukan yang menghampiri berupa kehidupan yang hina dan aniaya (neraka). Jika kita mau mencermati kitab Sastra Jendra yang tergelar di jagad gumelar ini, bukankah sudah tampak rumus-rumus dengan jelas. Bahwa tiap-tiap senyawa yang sama memiliki kekuatan untuk saling menyatu. Maka terdapatlah berbagai macam aliran, faham, kepentingan yang bersifat konstruktif maupun destruktif masing-masing menyatu dalam wadah kelompok atau golongan yang sama dan senyawa. Melingkupi yang wadag maupun yang gaib. Maka marilah kita bahu membahu menciptakan medan magnet yang mulia, untuk kelestarian alam semesta ini...inilah yang secara turun temurun di ajarkan kepada anak cucu Nusantara melalui budaya...Rahayu...!