Rabu, 05 Juni 2013

Penanggalan / Kalender Jawa

I. Pendahuluan
Pemahaman manusia akan alam semesta semakin bertambah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi. Namun, manusia sebagai pelaku sejarah, tidak akan mampu untuk meninggalkan sejarahnya sendiri. Sejarah dimana manusia memulai kehidupannya, manusia memulai untuk berkarya, manusia memulai untuk menciptakan hal-hal yang teknologis.

            Disamping itu, manusia sebagai pelaku budaya juga tak dapat lepas dari kelangsungan kebudayaan dimana dia berada. Termasuk manusia yang hidup di Indonesia. Terlebih lagi di Jawa. Berbagai budaya terus dijaga kelestariannya. Termasuk penanggalan yang ditinggalkan oleh Sultan Aji Soko. Penanggalan masa itu masih menggunakan sistem penanggalan Hindu-Budha karena pada masa itu Islam belum berkembang di Jawa. Maka dikenal dengan penanggalan atau Kalender Ajisoko (Jawa). Sistem Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistem penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia. Sistem Penanggalan Jawa disebut juga Penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan bedasarkan peredaran Bulan mengitari Bumi. Petungan penanggalan Jawa sudah dicocokkan dengan penanggalan Hijriah. Namun demikian pencocokkan ini bukanlah menjiplak sepenuhnya juga mempergunakan perhitungan yang rumit oleh para leluluhur kita.
II. Pembahasan
A. Rumusan Masalah
     Dari pendahuluan di atas, maka pembahasan dalam makalah ini akan dititikberatkan pada rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Sejarah dan Pengertian Penanggalan Jawa
2.      Pemikiran Penanggalan Jawa
3.      Cara Penghitungan Penanggalan Jawa
B. Pembahasan
1. Sejarah dan Pengertian Penanggalan Jawa
          Di pulau Jawa khususnya, pernah berlaku sistem penanggalan Hindu, yang dikenal dengan penanggalan “Soko”, yakni sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran matahari mengelilingi bumi. Permulaan tahun soko ini ialah hari Sabtu ( 14 Maret 78 M ), yaitu satu tahun setelah penobatan prabu Syaliwahono ( Aji Soko ) sebagai raja di India. Oleh sebab itulah penanggalan ini dikenal dengan penanggalan Soko[1]. Mula-mula tahun Jawa dihitung dengan peredaran matahari dan berwindu 30 tahun dengan nama tahun Hindu-Jawa (Saka). Sejarah pemikiran hisab rukyah mazhab tradisional ala Islam-Jawa ( Kejawen ) atau dalam bahasa Geertz disebut Religion of Java,[2] ini berasal dari pemikiran (kalender) Aji Saka yang dimulai pada tahun tanggal 14 Maret 78 masehi. Kalender Aji Saka ini diperbaharui oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo[3], yakni disesuaikan dengan perhitungan Lunar (Qomariyah) dan tidak lagi menggunakan sistem perhitungan Solar (Syamsiyah). Peralihan tersebut terjadi pada tanggal  1 Sura tahun Alip 1555 (tahun Jawa), sedangkan perputaran tahunnya diubah per windu 8 tahun[4].
          Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender qamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa. [5]
2. Pemikiran Penanggalan Jawa
          Pada tahun 1633 M bertepatan dengan tahun 1043 H atau tahun 1555 Soko, Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan Sultan Agung Anyokrokusumo yang bertahta di mataram, mengadakan perubahan dalam sistem penanggalan Jawa. Perubahan itu menyangkut sistemnya tidak lagi berdasarkan pada peredaran matahari melainkan didasarkan pada peredaran bulan disenyawakan dengan sistem perhitungan tahun hijriyah, sehingga nama-nama bulan ditetapkan dengan urut-urutan sebagai berikut; Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadil Awal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah( selo), dan Besar. Sedang tahunya masih menggunakan tarikh Jawa yaitu tahun Soko. Disamping itu terdapat juga sistem perhitungan yang berbeda,  Bulan-bulan ganjil berumur 30 hari. Sedangkan bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali bulan ke 12 (besar) berumur 30 pada tahun panjang. Satu tahun berumur 354,375 hari ( 354 3/8 hari), sehingga daur ( siklus) penanggalan Jawa ini selama 8 tahun ( 1 windu) , dengan ditetapkan bahwa pada urutan tahun ke 2, 5 dan 8 merupakan tahun panjang ( Wuntu = 355 hari ). Sedangkan lainya merupakan tahun pendek ( Wastu = 354 hari).
          Urut-urutan tahun dalam satu windu itu diberi lambang dengan huruf Arab abjadiyah, yaitu:
- tahun pertama                       = Alip (   )
- tahun kedua                          = Ehe (   )
- tahun ketiga                          = Jim Awal ( )
- tahun keempat                      = Ze ( )
- tahun kelima             = Dal ( )
- tahun keenam            = Be ( )
- tahun ketujuh            = Wawu ( )  
- tahun kedelapan        = Jim Akhir ( )
Akibat dari ketentuan satu windu yang panjangnya 8 tahun itu 2835 hari, maka dalam 30 tahun akan menjadi  10631 lebih ¼ hari. Dengan demikian sistem perhitungan ini lebih panjang dari sistem tahun hijriyah sebanyak ¼ hari. Maka selama 120 tahun sistem baru akan mengalami pengunduran waktu selama satu hari dibandingkan dengan sistem perhitungan tahun hijriyah. Oleh sebab itulah ditetapkan pemotongan hari pada tiap-tiap tahun yaitu; dengan menghitung bulan besar yang semestinya berumur 30 hari dihitung 29 hari.
Terdapatlah catatan-catatan sebagai berikut:
  • ·         Suro alip tahun 1555 soko menjelang tahun 1627 jatuh pada hari jum’at Legi
  • ·         Mulai permulaan tahun 1627 sampai menjelang tahun 1747 satu suro alip jatuh pada hari Kamis Kliwon ( Amiswon).
  • ·         Mulai permulaan tahun 1747 hingga menjelang tahun 1867 satu suro alip jatuh pada hari Rabu Wage ( Aboge).
  • ·         Mulai permulaan tahun 1867 hingga menjelang tahun 1987 satu suro alip jatuh pada hari Selasa Pon ( Asapon).
                        Dari keterangan-keterangan tersebut terlihatlah pemotongan-pemotongan hari pada tiap-tiap 120 tahun. Pemotongan itu diharapkan agar sistem perhitungan itu dimaksud supaya sesuai dengan sistem peredaran bulan. Kemudian untuk menghitung jumlah hari dalam sistem perhitungan tahun jawa ini dipatuhilah ketentuan-ketentuan sebagai berikut; selisih tetap tahun hijriah dengan tahun jawa sebanyak 369.251 hari, selisih ini adalah selisih hari pada satu Muharram 1555 Soko dengan jumlah hari tahun hijriyah. Disamping itu hendaknya diperhitungkan pemotongan-pemotongan yang didahului sejak 1555 Soko sampai tahun 1912 yaitu sebanyak 3 hari.[6] Ada perbedaan yang hakiki antara sistim perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah, perbedaan yang nyata adalah pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian bulan. Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap yaitu pada saat matahari terbenam (surup – antara pukul 17.00 sampai dengan 18.00), sedangkan pergantian hari ketika pergantian bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan melalui Hilal dan Rukyat.
                        Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan qomariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya ditetapkan secara resmi. Sebenarnya pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada zaman pra-Islam. Lalu oleh beliau tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi lama setiap mangsa berbeda-beda.[7]
No.  
Penanggalan Jawa
   Awal
Akhir
1
2
3 Agustus
3
Katiga (Katelu)
4
5
6
7
8
9
10
11
12
                        Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pancawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari:
1.                   Legi
2.                   Pahing
3.                   Pon
4.                   Wage
5.                   Kliwon
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.[8]
C. Cara Penghitungan Penanggalan Jawa
              Sebagai contoh, dibawah ini akan dikemukakan cara menghitung jumlah hari menurut sistem perhitungan tahun jawa[9].
o   Satu Suro 1913 soko berapakah jumlah harinya?
Dari ketentuan itu kita dapat melihat bahwa hari berjalan sebanyak 1912 tahun + 0 bulan + 1 hari. Akan tetapi sistem berlaku sejak tahun 1555, maka 1913 dikurangi 1555 = 358 tahun
358 th : 8  = 44 daur ( lebih 6 tahun)
44 daur            = 44 x 2835 hari                                                    =    134740 hari
6 tahun            = 6 x 354 + 2 hari                                                  =      2126 hari
1Suro               =                                                                            =           1 hari +
                                                                                                            126867 hari
Pemotongan hari sejak 1555 sampai 1912                                    =              3 hari
                                                                                                            126864 hari
Selisih tetap tahun Jawa                                                                =    369251 hari +
Jadi bilangan hari pada tanggal 1 Suro 1913 soko                        =    496115 hari,
            Apabila bilangan hari disini dari tahun hijriyah maka dilakukan perhitungan sebagai berikut:
1 Suro 1913 soko                                                                          =    496115 hari
Selisih tetap tahun hijriyah dan Jawa                                            =    369251 hari
                                                                        Sisa                        =    126864 hari
Sisa ini ditukar dengan sistem perhitungan hijriyah, hasilnya ditambahkan dengan 1042 tahun.
126864 : 10631           =          11 daur ( lebih 9923 hari)
11 daur                        =          11 x 30            = 330 tahun
9923 : 354                                                       =   28 tahun ( lebih 11 hari – 10)
1 hari                                                               =      1 hari                                          
Maka jumlah itu                                              = 358 tahun + 1 hari
Pada menjelang tahun 1555 soko                   = 1042 tahun                 
Jumlah                                                             = 1400 th + 1 hari
Maka satu Suro 1913 soko jatuh pada tanggal 1 Muharram 1401 H.
III. Kesimpulan
            Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia.
IV. Penutup
Semoga tulisan dalam blog ini mampu menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan menuju yang diharapkan.
Sebelum beranjak dari halaman ini, saya sangat senang sekali jika Anda bersedia meluangkan sedikit waktu untuk memberi Like dan Share serta G+1 pada artikel ini, dengan demikian artikel ini juga dapat dibaca oleh sahabat, teman dan orang terdekat Anda serta orang yang membutuhkannya. Sekaligus mendukung kami dalam mengikuti kontes blog yang di adakan dan di dukung oleh :

  1. web hosting
  2. Hosting murah
  3. kontes seo anekahosting.com
Untuk menambah wawasan, kunjungi juga blog Jendro lainnya :
 
Daftar Pustaka
  • -          Izzuddin, Ahmad. 2006.  Fiqh Hisab Rukyah Kejawen, Semarang: IAIN Walisongo,
  • -          Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. 1981. Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
  • -          Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya
  • -          Khazin , Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : Buana Pustaka.
  • -          Aliy, Muh. Choeza’i. 1977. Pelajaran Hisab Istilah Untuk Mengetahui Penanggalan Jawa Islam Hijriyah dan Masehi. Semarang : Ramadhani
  • -          MUI Daerah Istimewa Yogyakarta. 1987. Kalender Islam Sultan Agung adalah Kalender Nasional, Yogyakarta : Offset
  • -          http://id.wikipedia.org./wiki Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kalender Jawa

[1] Khazin , Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : Buana Pustaka. Hal 116.
[2] Mengenai pemikiran Islam Jawanya Geertz dapat dilihat dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya, 1981. di kutip dari Ahmad Izzuddin Fiqh Hisab Rukyah Kejawen, Semarang: IAIN Walisongo, 2006, hlm.2.
[3] Sri Sultan Muhammad  Sultan Agung Prabu Hanyokrokusuma adalah raja pada kerajaan Mataram II pada tahun 1613 – 1645 M, lihat MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalender Islam Sultan Agung adalah Kalender Nasional, Yogyakarta : Offset, 1987, hlm. 12. 
[4] Muh. Choeza’i Aliy, Pelajaran Hisab Istilah Untuk Mengetahui Penanggalan Jawa Islam Hijriyah dan Masehi, Semarang: Ramadhani, 1977, hlm.6 
[5] Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kalender Jawa. Diakses pada hari Sabtu 09 April 2011 pkl. 15.27 wib.
[6] Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. 1981. Almanak Hisab Rukyat. Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam hal. 45-46
               
[7] http://id.wikipedia.org./wiki, Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kalender Jawa. Diakses pada hari Sabtu 09 April 2011 pkl. 15.27 wib.
 [8]  Wikipedia, Op.Cit
[9] Almanak Hisab Rukyat, Op.Cit hal. 46