Jumat, 26 April 2013

Menyingkap rahasia pesugihan Gunung Kawi bag 4

          Perjuangan itu masih membutuhkan waktu yang cukup lama bagi bangsa Indonesia untuk mengorganisir dan menjalin rasa solidaritas antar suku dan golongan didalam perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa yang benar – benar mantap. Kanjeng Kyai Zakaria II atau Mbah Djoego dan Raden Mas Iman Soedjono ini, termasuk dalam golongan yang ketiga. Mbah Djoego meninggal dunia diPadepokannya di Desa Sanan Jugo Kecamatan Kesamben Kabupaten Daerah Tingkat II Blitar pada hari ; Minggu Legi malam Senin Pahing pada jam 01.30 tanggal 1 bulan Selo (Zulkhijjah) tahun 1799 Dal. Saat – saay wafatnya Mbah Djoego diabadikan pada prasasti batu marmer yang terletak didepan pndopo makamnya berbentuk untaian condro sengkolo berbunyi : ARUMING KOESOEMO PINUDYENG JAGAD. Kata – kata dalam condro sengkolo mempunyai makna angka. Arum nilainya 9, Kusuma nilainya 9, Pinudyo nilainya 7 dan Jagad nilainya 1. Selanjutnya angka ini dibaca dari belakang, maka akan terdapat susunan angka 1799 yang merupakan tahun Jawa tersebut diatas, sebagai tahun meninggalnya Mbah Djoego. Adapaun tahun masehinya tercatat tanggal 22 Januari tahun 1971. Agaknya Mbah Djoego sewaktu masih hidup telah berpesan bahwa bilamana beliau meninggal dunia, agar jenazahnya dikebumikan di Gunung kawi. Maka jenazah almarhum pada Hari Senin Pahing tanggal 22 Jauari 1871 diberangkatkan dari desa Sanan Jugo menuju Desa Wonosari Gunung Kawi untuk dimakamkan. Agaknya perjalanan dari Desa Sanan Jugo menuju Desa Wonosari bukanlah perjalanan yang ringkas dan ringan. Iringan – iringan jenazah harus melalui jalan setapak. Menembus hutan – hutan lebat, lereng – lereng yang terjal dan tebing – tebing yang curam. Karena melewati medan perjalanan yang begitu sulitnya, maka terpaksa iringan – iringan pembawa jenazah itu baru bisa berhenti dan menginap dibeberapa desa. Iring – iringan jenazah itu baru bisa sampai di Desa Wonosari pada hari Rabu Wage tanggal 24 Januari 1971 dan disemayamkan semalam dirumah Raden Mas Iman Soedjono. Pada pagi harinya, yaitu pada hari Kamis Kliwon tanggal 25 januari 1971, barulah jenazah almarhum Mbah Djoego dimakamkan dengan upacaram kebesaran dengan maksud untuk menghormati jasa dan pengabdiannya semasa hidup.
            Upacara pemakaman jenazah seromoni dan adat kejawen, sepenuhnya dipimpin langsung oleh Raden Mas Iman Soedjono. Pada malam harinya, yaitu malam Jum’at Legi, di Pendopo makam Mbah Djoego diselenggarakan “ Tahlil Akbar “. Adapun Tahlil Akbar ini dihadiri oleh segenap pengikut Raden Mas Iman Soedjono maupun almarhum Mbah Djoego dari segenap penjuru daerah Kabupaten Malang maupun Blitar. Berawal dengan kejadian itulah, peringatan TahlilAkbar ditradisikan secara naluriah dan berlangsung hingga sekarang, sehingga pada tiap – tiap malam Jum’at Legi jumlah pengunjung Pesarean Gunung kawi lebih banyak dari hari – hari biasanya. Sepeninggal Mbah Djoego, padepokannya di Kesamben dirawat oleh Ki Tasiman, yaitu orang desa setempat yang pertama kali berjumpa dengan Kanjeng Ktai Zakaria II dalam pengembaraannya di sana. Dalam mengelola rumah padepokan peninggalan Mbah Djoego tadi, Ki Tasiman dibantu oleh beberapa pengikut lain diantaranya Ki Dawud bekas juru rerateng atau tukang menanak nasinya Mbah Djoego, juga Ki Ngapiah dan lain – lain.

            Adapun barang – barang peninggalan Mbah Djoego yang dipercayakan perawatan dan pemanfaatannya kepada Ki Tasiman turun temurun yaitu berupa : rumah padepokan berikut masjid dan halamannya seluas lebih kurang satu hektar. Sawah dua belas hektar, jubah, pusaka berbentuk tumbak, perlengkapan perang ketika beliau menjadi lasykar Diponegoro, topi, alat – alat pertanian dan tiga buah guci tempat air minum yang dilengkapi dengan filter dari batu. Guci itu dinamakan “janjam”. Suatu ketika, oleh Raden mas Iman Soedjono guci tersebut diboyong ke Gunung Kawi sebanyak dua buah. Sehingga yang dipadepokan jugo sekarang hanya tinggal sebuah saja berikut filternya. Semenjak sesepuhnya itu meninggal, Raden Mas Iman Soedjono memutuskan untuk menetap di Dusun Wonosari dalam kehidupan sehari – hari disamping mengolah lahan untuk bercocok tanam padi gogoserta tanaman lain seperti : jagung, kaspe atau singkong, pisang, ubi jalar atau ketela rambat, kacang, kopi dan teh. Beliau juga menyempatkan diri merawat dengan tekun pusara Mbah Djoego. Disamping itu, beliau juga selalu berda’wah kepada para pengikutnya maupun para tamu yang datang ke rumahnya sekaligus berziarah ke makam Mbah Djoego. Petunjuk dan pengarahan yang sering diberikan kepada tamunyaadalah da’wah yang bernafaskan Islam.
Penyampaiannya diwujudkan dengan pemberian benda berupa bungkusan kecil yang dinamakan “Saren Sinandi”. Materi Saren Sinandi tersebut berisi sejimpit beras, karag atau nasi kering dan sekeping uang logam. Kata Sinandi artinya ialah kiasan. Jadi kalau kita ingin mendapat petunjuk yang baik dari Raden Mas Iman Soedjono sebagai sesepuh penerus Almarhum Mbah Djoego kita harus bisa menguraikan arti kiasan barang yang diberikan oleh beliau berupa “Saren Sinandi” tadi. Barang inilah yang setiap tanggal 12 suro, yaitu pada puncak acara peringatan hari wafatnya Raden Mas Iman Soedjono selalu didambakan oleh segenap Pengunjung Gunung Kawi. Saren itu oleh kalangan orang Tionghoa disebut dengan “Ang Pauw”.