Perjuangan itu masih membutuhkan
waktu yang cukup lama bagi bangsa Indonesia untuk mengorganisir dan menjalin
rasa solidaritas antar suku dan golongan didalam perwujudan persatuan dan
kesatuan bangsa yang benar – benar mantap. Kanjeng Kyai Zakaria II atau Mbah
Djoego dan Raden Mas Iman Soedjono ini, termasuk dalam golongan yang ketiga.
Mbah Djoego meninggal dunia diPadepokannya di Desa Sanan Jugo Kecamatan
Kesamben Kabupaten Daerah Tingkat II Blitar pada hari ; Minggu Legi malam Senin
Pahing pada jam 01.30 tanggal 1 bulan Selo (Zulkhijjah) tahun 1799 Dal. Saat –
saay wafatnya Mbah Djoego diabadikan pada prasasti batu marmer yang terletak
didepan pndopo makamnya berbentuk untaian condro sengkolo berbunyi : ARUMING
KOESOEMO PINUDYENG JAGAD. Kata – kata dalam condro sengkolo mempunyai makna
angka. Arum nilainya 9, Kusuma nilainya 9, Pinudyo nilainya 7 dan Jagad
nilainya 1. Selanjutnya angka ini dibaca dari belakang, maka akan terdapat
susunan angka 1799 yang merupakan tahun Jawa tersebut diatas, sebagai tahun
meninggalnya Mbah Djoego. Adapaun tahun masehinya tercatat tanggal 22 Januari
tahun 1971. Agaknya Mbah Djoego sewaktu masih hidup telah berpesan bahwa
bilamana beliau meninggal dunia, agar jenazahnya dikebumikan di Gunung kawi.
Maka jenazah almarhum pada Hari Senin Pahing tanggal 22 Jauari 1871
diberangkatkan dari desa Sanan Jugo menuju Desa Wonosari Gunung Kawi untuk
dimakamkan. Agaknya perjalanan dari Desa Sanan Jugo menuju Desa Wonosari
bukanlah perjalanan yang ringkas dan ringan. Iringan – iringan jenazah harus
melalui jalan setapak. Menembus hutan – hutan lebat, lereng – lereng yang
terjal dan tebing – tebing yang curam. Karena melewati medan perjalanan yang
begitu sulitnya, maka terpaksa iringan – iringan pembawa jenazah itu baru bisa
berhenti dan menginap dibeberapa desa. Iring – iringan jenazah itu baru bisa
sampai di Desa Wonosari pada hari Rabu Wage tanggal 24 Januari 1971 dan
disemayamkan semalam dirumah Raden Mas Iman Soedjono. Pada pagi harinya, yaitu
pada hari Kamis Kliwon tanggal 25 januari 1971, barulah jenazah almarhum Mbah
Djoego dimakamkan dengan upacaram kebesaran dengan maksud untuk menghormati
jasa dan pengabdiannya semasa hidup.

Adapun
barang – barang peninggalan Mbah Djoego yang dipercayakan perawatan dan
pemanfaatannya kepada Ki Tasiman turun temurun yaitu berupa : rumah padepokan
berikut masjid dan halamannya seluas lebih kurang satu hektar. Sawah dua belas
hektar, jubah, pusaka berbentuk tumbak, perlengkapan perang ketika beliau
menjadi lasykar Diponegoro, topi, alat – alat pertanian dan tiga buah guci
tempat air minum yang dilengkapi dengan filter dari batu. Guci itu dinamakan
“janjam”. Suatu ketika, oleh Raden mas Iman Soedjono guci tersebut diboyong ke
Gunung Kawi sebanyak dua buah. Sehingga yang dipadepokan jugo sekarang hanya
tinggal sebuah saja berikut filternya. Semenjak sesepuhnya itu meninggal, Raden
Mas Iman Soedjono memutuskan untuk menetap di Dusun Wonosari dalam kehidupan
sehari – hari disamping mengolah lahan untuk bercocok tanam padi gogoserta
tanaman lain seperti : jagung, kaspe atau singkong, pisang, ubi jalar atau
ketela rambat, kacang, kopi dan teh. Beliau juga menyempatkan diri merawat
dengan tekun pusara Mbah Djoego. Disamping itu, beliau juga selalu berda’wah
kepada para pengikutnya maupun para tamu yang datang ke rumahnya sekaligus
berziarah ke makam Mbah Djoego. Petunjuk dan pengarahan yang sering diberikan
kepada tamunyaadalah da’wah yang bernafaskan Islam.
Penyampaiannya diwujudkan dengan pemberian benda berupa bungkusan kecil yang dinamakan “Saren Sinandi”. Materi Saren Sinandi tersebut berisi sejimpit beras, karag atau nasi kering dan sekeping uang logam. Kata Sinandi artinya ialah kiasan. Jadi kalau kita ingin mendapat petunjuk yang baik dari Raden Mas Iman Soedjono sebagai sesepuh penerus Almarhum Mbah Djoego kita harus bisa menguraikan arti kiasan barang yang diberikan oleh beliau berupa “Saren Sinandi” tadi. Barang inilah yang setiap tanggal 12 suro, yaitu pada puncak acara peringatan hari wafatnya Raden Mas Iman Soedjono selalu didambakan oleh segenap Pengunjung Gunung Kawi. Saren itu oleh kalangan orang Tionghoa disebut dengan “Ang Pauw”.
Penyampaiannya diwujudkan dengan pemberian benda berupa bungkusan kecil yang dinamakan “Saren Sinandi”. Materi Saren Sinandi tersebut berisi sejimpit beras, karag atau nasi kering dan sekeping uang logam. Kata Sinandi artinya ialah kiasan. Jadi kalau kita ingin mendapat petunjuk yang baik dari Raden Mas Iman Soedjono sebagai sesepuh penerus Almarhum Mbah Djoego kita harus bisa menguraikan arti kiasan barang yang diberikan oleh beliau berupa “Saren Sinandi” tadi. Barang inilah yang setiap tanggal 12 suro, yaitu pada puncak acara peringatan hari wafatnya Raden Mas Iman Soedjono selalu didambakan oleh segenap Pengunjung Gunung Kawi. Saren itu oleh kalangan orang Tionghoa disebut dengan “Ang Pauw”.