Parameter Keihklasan
Rahayu....!
Berbuat baik dalam hal ini melakukan
sinergisme dan harmonisasi dengan alam idealnya dilakukan secara tulus ikhlas
tanpa pamrih. Kalimat tulus ikhlas tanpa pamrih sering menjadi rancu dan bias
manakala kita ingin memahami apa yang seyogyanya menjadi motifasi dalam beramal
atau berbuat baik. Kalimat tersebut memunculkan pertanyaan, jika keikhlasan
diartikan sebagai sikap tanpa pamrih, apakah ideal jika manusia berharap (pamrih)
pahala dan surga? Bagi saya pribadi, berharap-harap pahala bukanlah tabiat
buruk atau salah. Hanya saja, jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku
telah berada dalam tataran kesadaran hakekat rasanya menjadi kurang
pantas dan pencapaian spiritualnya diragukan. Sebab sebagai manusia dengan
kesadaran hakekat akan memiliki perasaan hilangnya perasaan memiliki ( duwea
rasa ; ora duwe-rasa duwe ).
Bukankah Tuhan tiap detik selalu
memberikan pahala anugrah, rahmat dan kenikmatan yang jumlahnya puluhan bahkan
ratusan kali lipat. Mulai dari bisa bernafas, melihat, merasa, tidak kelaparan,
tidak kekurangan air, rasa senang, memiliki properti dst. Bahkan tanpa pandang
bulu anugrah dan kenikmatan itu tetap dirasakan oleh seorang koruptor, pencuri, penipu, pembohong,
pembunuh. Bahkan dirasakan oleh seluruh umat manusia di bumi, dengan tidak
memandang apa agamanya (primordial), apa suku bangsanya (rasis), dan apa
kebudayaannya (etnosentris). Mari kita renungkan berkat yang kita terima dalam
setiap helaan nafas kita, begitu besar dan sangat berlimpah-limpah setiap
detiknya. Lalu apakah manusia mampu ber-ucap syukur satu kali dalam setiap
detiknya? Tidak! Lantas tidak malukah kita? jika kita masih berharap-arap pahala atau upah dari Tuhan atas
segala sesuatu yang telah kita lakukan dalam namaNya? Jika demikian seharusnya
kita lebih banyak bersyukur dari-pada memohon-mohon keinginan kita atau
seharusnya kita lebih sering
menelungkupkan telapak tangan sebagai bentuk sujud syukur kita kepadaNya dari-pada
menengadahkan tangan mengaharap Tuhan mengabulkan keinginan kita?
Keikhlasan sempurna dapat saya
analogikan seperti kita sedang buang air besar. Walau kita melakukan sesuatu
yang baik, memberikan materi yang banyak, namun kita tidak berharap imbalan
dari seseorang maupun imbalan dari Tuhan, bahkan sesegeranya kita guyur dengan
air agar tidak tercium baunya serta tidak kelihatan bentuk dan rupanya. Di
sinilah hakekat tapa mendem (bertapa mengubur diri). Yang dikubur /
hapus adalah segala amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada sesama dari
ingatan kita sendiri. Jika kita berbuat baik kepada orang lain, tulislah di
atas tanah agar segera terhapus dari ingatan kita. Jika kita membantu sesama,
atau menolong orang lain, maka bertransaksilah kepada Tuhan, bukan bertransaksi
kepada orang tersebut. Transaksi kepada Tuhan dalam batas kesadaran kita untuk
menghayati konsep ketuhanan atau netepi titahing Gusti. Bukan untuk
mengkoleksi/mengumpulkan upah pahala dari Tuhan. Rahayu....!