Sabtu, 27 April 2013

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 12


Parameter Keihklasan
 Rahayu....!
          Berbuat baik dalam hal ini melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam idealnya dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Kalimat tulus ikhlas tanpa pamrih sering menjadi rancu dan bias manakala kita ingin memahami apa yang seyogyanya menjadi motifasi dalam beramal atau berbuat baik. Kalimat tersebut memunculkan pertanyaan, jika keikhlasan diartikan sebagai sikap tanpa pamrih, apakah ideal jika manusia berharap (pamrih) pahala dan surga? Bagi saya pribadi, berharap-harap pahala bukanlah tabiat buruk atau salah. Hanya saja, jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku telah berada dalam tataran kesadaran hakekat rasanya menjadi kurang pantas dan pencapaian spiritualnya diragukan. Sebab sebagai manusia dengan kesadaran hakekat akan memiliki perasaan hilangnya perasaan memiliki ( duwea rasa ; ora duwe-rasa duwe ).

          Bukankah Tuhan tiap detik selalu memberikan pahala anugrah, rahmat dan kenikmatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan kali lipat. Mulai dari bisa bernafas, melihat, merasa, tidak kelaparan, tidak kekurangan air, rasa senang, memiliki properti dst. Bahkan tanpa pandang bulu anugrah dan kenikmatan itu tetap dirasakan oleh seorang  koruptor, pencuri, penipu, pembohong, pembunuh. Bahkan dirasakan oleh seluruh umat manusia di bumi, dengan tidak memandang apa agamanya (primordial), apa suku bangsanya (rasis), dan apa kebudayaannya (etnosentris). Mari kita renungkan berkat yang kita terima dalam setiap helaan nafas kita, begitu besar dan sangat berlimpah-limpah setiap detiknya. Lalu apakah manusia mampu ber-ucap syukur satu kali dalam setiap detiknya? Tidak! Lantas tidak malukah kita? jika kita masih  berharap-arap pahala atau upah dari Tuhan atas segala sesuatu yang telah kita lakukan dalam namaNya? Jika demikian seharusnya kita lebih banyak bersyukur dari-pada memohon-mohon keinginan kita atau seharusnya  kita lebih sering menelungkupkan telapak tangan sebagai bentuk sujud syukur kita kepadaNya dari-pada menengadahkan tangan mengaharap Tuhan mengabulkan keinginan kita?

          Keikhlasan sempurna dapat saya analogikan seperti kita sedang buang air besar. Walau kita melakukan sesuatu yang baik, memberikan materi yang banyak, namun kita tidak berharap imbalan dari seseorang maupun imbalan dari Tuhan, bahkan sesegeranya kita guyur dengan air agar tidak tercium baunya serta tidak kelihatan bentuk dan rupanya. Di sinilah hakekat tapa mendem (bertapa mengubur diri). Yang dikubur / hapus adalah segala amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada sesama dari ingatan kita sendiri. Jika kita berbuat baik kepada orang lain, tulislah di atas tanah agar segera terhapus dari ingatan kita. Jika kita membantu sesama, atau menolong orang lain, maka bertransaksilah kepada Tuhan, bukan bertransaksi kepada orang tersebut. Transaksi kepada Tuhan dalam batas kesadaran kita untuk menghayati konsep ketuhanan atau netepi titahing Gusti. Bukan untuk mengkoleksi/mengumpulkan upah pahala dari Tuhan. Rahayu....!

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 11


4.   Rahayu....! Anda yakin Tuhan Maha Adil dan Bijaksana? Sebagaimana tampak dalam hukum alam yang penuh keadilan dan keseimbangan. Dalam ilmu biologi Anda dapat mencermati rantai makanan yang jelas-jelas mengikuti rumus keseimbangan alam. Binatang di awal mata rantai jumlahnya semakin sedikit dan proses populasinya berjalan lamban, sedangkan hewan yang berada ujung mata rantai berkembang biak secara cepat dalam jumlah besar. Itulah bahasa alam, bahasa tentang keadilan dan kebijaksanaan, yang menginformasikan kepada manusia bahwa Tuhan Maha Adil. Konsekuensinya, manusia harus selalu berbuat adil dan bijaksana dalam laku atau perbuatan hidup sehari-hari kepada sesama manusia, makhluk hidup, dan alam semesta. Sikap sebaliknya, manusia lebih sering melawan kodrat alam. Manusia menutup mata dan telinga lalu dengan seenaknya berbuat melawanan hukum alam yang tertata, tertib, rapi, adil dan bijaksana. Manusia melakukan penebangan hutan secara liar hingga mengakibatkan pemanasan global, banjit dan terjadi abrasi pantai. Manusia melakukan ekploitasi kehidupan laut secara membabi buta sehingga terjadi ketidakseimbangan mata rantai hingga berakibat kepunahan berbagai jenis binatang. Manusia juga merombak sungai menjadi perumahan mewah, jalur hijau dan resapan air ditanami bangunan rumah hingga mengakibatkan banjir, tanggul jebol, tanah longsor, semua memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Apakah pola pikir anda masih menganggap bahwa semua itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang beriman? Atau sebagai kehendak Ilahi? Tidak! Tuhan tidak sekejam itu, manusialah yang teramat lancang berani menganggap Tuhan sebagai obyek penderita. Lebih tepat dikatakan sebagai ngunduh wohing pakarti. Manusia mendapat bebendu atau hukuman atas penentangannya terhadap rumus-rumus alam, hukum alam, atau kodrat Tuhan.

5.             Kesadaran kita dalam memahami Tuhan Mahakuasa, adalah sikap penguasaan terhadap hawa nafsu negatif yang ada di dalam diri kita pribadi. Sikap mawas diri, mulat sarira, angon wayah, merupakan penjelmaan atas penghayatan yang sungguh-sungguh terhadap kesadaran bahwa Tuhan Mahakuasa. Sikap antagonisnya terjadi bilamana manusia selalu bernafsu ingin menguasai dan menindas orang lain secara tidak absah. Menaklukkan, menghancurkan, menundukkan dan menghegemoni pihak lain. Sikap megalomania, narsistis, takabur, golek menange dewe, menganggap orang lain tidak benar dan pantas dilenyapkan, merupakan bentuk negasi dari sikap penguasaan terhadap diri pribadi. Bahkan sikap paling ekstrim dan sangat berbahaya adalah bilamana manusia yang maha lemah mengklaim diri sebagai pembela Tuhan Yang Mahakuasa. Mengaku dirinya adalah Utusan Tuhan yang berhak membunuh orang lain yang dianggap secara sepihak menurut persepsi pribadi sebagai musuh Tuhan. Apakah mereka tidak menyadari apabila Tuhan memiliki musuh (yang berasal dari makhluk ciptaanNya sendiri) sangat terdengar aneh bila mengutus manusia berada di jalan jihad dengan membunuh musuh-musuhNya. Apakah Tuhan Maha-lemah sehingga mengutus manusia membunuh manusia lainnya? Bukankah kekuasaan Tuhan mampu membunuh milyaran manusia hanya kurang dari satu detik saja? Marilah kita camkan bersama!Rahayu....!

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 10


    Rahayu...!  
                    Jika rasio kita mengetahui bahwa jagad raya ini sangat luas meliputi milyaran bintang, dan jumlah galaksi yang banyak, bahkan manusia belum menemukan sampai di mana batas tepi dari jagad raya ini, maka konsep manusia memahami bahwa Tuhan Mahabesar dan Mahaluas Tiada-batas. Dikiaskan sebagai gigiring punglu, atau samodra tanpa tepi. Maka konsekuensi dalam sikap perbuatan hendaknya kita berjiwa besar, toleran, tidak sempit akal, selalu membuka wawasan pikir yang seluas-luasnya. Sikap kita akan lebih arif dan bijak. Tidak suka melakukan prejudis, penilaian sepihak dan vonis subyektif. Tidak pula menghina dan melecehkan yang bodoh. Menghargai pendapat orang lain, serta tidak gengsi berguru kepada siapapun termasuk kepada orang yang dianggap bodoh sekalipun. Bersedia belajar melalui bahasa alam, mau mengambil hikmah dari perilaku positif seekor binatang, yang hina sekalipun. Semua itu berangkat dari kesadaran bahwa Tuhan telah menggelar bahasa dan tanda-tanda kekuasaanNya di setiap jengkal jagad raya ini tanpa kecuali. Sebaliknya, sikap perlawanan terhadap hukum alam atau kodrat Tuhan dapat berwujud sikap fanatisme atau anti-toleran, sikap golek menange dewe (cari menangnya sendiri), golek benere dewe (cari benernya sendiri), mbang cinde mbang siladan (pilih kasih), primordialisme agama, rasis, etnosentris. Sikap-sikap tersebut merupakan sikap kontra-sinergi, atau disharmoni antara microcosmos dengan macrocosmos. Hal ini akan mengurung kesadaran diri (self consciousness) stagnan pada kesadaran imitasi yang membuat diri tidak pernah beranjak belenggu kejahiliahan, yang tanpa pernah kita sadari bersemayam dalam otak, hati, dan batin kita. Orang-orang dalam kesadaran palsu akan cenderung merasa diri sebagai manusia paling suci, alim, soleh, solikhah dan memandang orang lain lebih rendah, kafirun, hina dan sesat. ( aja rumangsa pinter, ning pintera rumangsa)


3.                  Jika kita percaya bahwa Tuhan Maha Pemurah, sebab dalam setiap detik kita dapat menyaksikan bahwa anugrah Tuhan sulit dihitung  jumlahnya. Kesadaran konsep demikian hendaklah ditindak-lanjuti dengan laku spiritual atau laku batin yang dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit sehari-hari kepada sesama. Sebagai konsekuensinya kita menjadi orang yang murah hati. Tidak enggan melakukan tapa ngrame, gemar membantu dan menolong orang lain secara ikhlas tanpa pamrih. Kecuali hanya sebagai upaya menghayati konsep-konsep ketuhanan, atau netepi titahing Gusti (insan kamil). Giat bekerja dan giat beramal. Harta yang berlebih bukan untuk berfoya-foya dan tidak untuk mengumbar nafsu ragawi. Sebaliknya jika kita lebih banyak harta maka kita akan lebih leluasa dan memiliki kemampuan membantu pihak-pihak yang kekurangan dan membutuhkan. Jika kita banyak ilmu tidak segan dan pelit untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Perilaku disharmoni dan a-sinergi antara microcosmos dengan macrocosmos, bilamana manusia memiliki mental kere atau etos pengemis. Inginnya selalu diberi, dikasihani, dilindungi, pelit merkedit dst. Kurang memiliki kepekaan sosial, egois (keakuan), oportunis (mencari untungnya sendiri/golek butuhe dewe). Jika tidak ada imbalan mereka enggan menolong dan membantu sesama.   Rahayu...! 

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 9


           
 Rahayu...!
            Dasar dari laku spiritual adalah amal perbuatan konkrit kepada sesama manusia dan alam semesta atau dimensi habluminannas yakni perbuatan konkrit dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama makhluk (manusia). Amal perbuatan manusia hendaknya dilakukan secara harmonis dan sinergis sesuai dengan kearifan (bahasa) alam. Manusia Jawa memahami bahwa bahasa yang terdapat di dalam jagad gumelar ini merupakan kitab suci yang penuh dengan petunjuk bahasa / kehendak Tuhan, atau kodrat Tuhan. Sinergisme dan harmonisasi antara jagad alit dengan jagad ageng dipahami sebagai sikap tunduk dan taat manusia (manembah) kepada Sang Pencipta Gusti Ingkang Akarya Jagad (Tuhan Pencipta Alam).

            Dalam upaya memahami lebijaksanaan alam/kebijaksanaan Tuhan yang tergelar di jagad raya ini antara lain lahirlah rangkaian nilai, yang menjadi pandangan atau filsafat hidup seperti misalnya Hasta Brata. Hasil dari mencermati bahasa alam, dan kehendak Tuhan yang terangkum dalam gerak-gerik fenomena alam, meretas ke dalam perangkat nilai yang kemudian diistilahkan sebagai filsafat hidup, nilai-nilai kebudayaan, tradisi, dan ritual yang banyak sekali mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang adiluhung. Bila manusia mampu menata perilaku hidupnya seperti halnya perilaku alam yang penuh kebijaksanaan ia akan menemukan rasa sejati dalam pengembaraan sukma. Secara konkrit dapat saya jelaskan bagaimana manusia melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam semesta (jagad gumelar) misalnya:

1.   Alam tempat kita hidup ini, sungguh tak pernah mengeluh, selalu bersedia memberikan kebutuhan manusia untuk melangsungkan kehidupan. Maka konsep manusia mempercayai bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini menuntut konsistensi perbuatan kita hendaknya memiliki sikap welas asih, tepa selira, saling asah asih asuh, terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk hidup tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Manusia hendaknya memahami, menjaga, melindungi dan melestarikan tidak hanya kepada makhluk hidup namun termasuk benda tidak hidup di bumi ini yang meliputi sungai, lautan, gunung, daratan, dan hutan, dst. Sebaliknya sikap disharmoni dan a-sinergi, tampak pada sebagian manusia yang dengan dalih apapun ingin mencelakai orang lain, membunuh, memfitnah, menyakiti hati. Atau manusia memanfaatkan sumber daya alam secara liar, tidak terkendali, bahkan melakukan eksploitasi alam hingga menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air sungai dan laut, polusi udara. Semua itu merupakan sikap kontradiktori terhadap kodrat / hukum alam, atau kodrat Tuhan. Artinya perilaku manusia demikian menjadi tidak sinergis dan harmonis dengan alam semesta. Akibatnya adalah bencana alam, musibah kemanusiaan, wabah penyakit (endemi), paceklik, salah musim, siklus cuaca yang kacau, global warming.  Rahayu...!

Menelisik Rahasia Filsafat Kejawen Bag 8


 Rahayu.....!
        Celakanya, kristalisasi nilai kebudayaan yang keras yang berasimilasi ke dalam nilai-nilai agama atau falsafah hidup suatu masyarakat, di kemudian hari akan sangat berbahaya menjadi doktrin kebenaran apabila hanya dipahami secara tektual/teks-book. Itulah salah satu alasan mengapa mempelajari agama harus disesuaikan dengan konteks zamannya atau dipahami secara kontekstual. Terlebih lagi apabila nilai-nilai tersebut diekspor ke masyarakat lain yang memiliki karakter berbeda. Akan beresiko terjadi disharmoni dan anti-sinergisme dengan lingkungan alamnya. Masyakarat lokal (origin/pribumi) akan teralienasi oleh nilai imitasi impor yang pada gilirannya justru menghilangkan kesadaran tertinggi jati diri, yakni kesadaran rahsa sejati. Ujung dari semua itu, adalah masyarakat yang terombang ambing kehilangan jati diri, tidak mengenali karakter alam sekitarnya, serba salah langkah, dan salah kaprah dalam mengambil kebijaksanaan. Maka kemurkaan alamlah yang terjadi.

        Banyak cara dapat ditempuh untuk mewujudkannya misalnya dengan laku spiritual biasa disebut sebagai laku prihatin (perih karasa ing batin). Cara-cara lainnya misalnya dengan berbagai ritual tradisi dan kebudayaan. Dalam mistik Kejawen atau falsafah hidup Jawa semua itu dapat dimaknai sebagai laku kebatinan (rohaniah). Tujuan dari semua itu tidak lain sebagai upaya menggapai kesadaran tinggi yakni kesadaran rahsa sejati. Kesadaran rahsa sejati menjadi pemandu yang efektif dalam manembah kepada Tuhan YME.

          Pencapaian kesadaran tinggi bukanlah bersifat instan, hanya dengan ritual-ritual misalnya puasa, dan dengan rapalan-rapalan atau wirid saja. Lebih utama dari semua itu adalah amalannya atau laku perbuatan konkrit (manifestasi) dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Manusia Jawa memahami bahwa lakutama atau perilaku utama (baik dan mulia) berupa manifestasi perbuatan terhadap sesama makhluk, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lainnya (termasuk alam semesta). Lakutama merupakan jalan utama menuju panembahan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Atau dapat dianalogikan bahwa habluminannas (dimensi horizontal) merupakan jalan utama menggapai habluminallah (dimensi vertikal). Rahayu.....!