Ajaran pokok yang kelima : pemahaman
tentang ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar
yang ditulis oleh Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi,
pustining pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng
kahanan eneng ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud
dan tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan
jernih.
Menurut
Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia telah diberi anugerah
oleh Yang Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam
dirinya sendiri. Jadi, ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang
lain. Yang kita dapatkan melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu
hanyalah refleksi ilmu. Dan, ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu
lahir dari kedalaman batin telah menjadi pemahaman yang universal. Itulah
sebabnya orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian
terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi, harus
ada suasana kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Suasana
kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut dapat
bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab kekalutan dan
kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah
dipenuhi. Ingat, setiap orang telah diberi potensi dan talenta yang disebut
kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki kodrat untuk menjadi ilmuwan harus
disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang
dibutuhkan manusia.
Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang
hidup saling membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita
sendiri tidak tahu, tapi kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal
ini banyak sekali terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal
dalil, tetapi sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu.
Akhirnya pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.
Masyarakat
yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang salah sama dengan masyarakat yang
dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti rawan terhadap serangan penyakit.
Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan dari berbagai macam kebohongan.
Masyarakat harus diajar dan dididik untuk memahami segala sesuatu seperti apa
adanya.
Agar tidak
hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang
harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia
harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia
ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan
alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan
benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan
sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat
kitab suci harus dipahami berdasarkan kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan
serta diajarkan secara harfiah sesuai dengan asal kitab suci tersebut. Agama
harus diajarkan secara arif dan bisa dibumikan, tidak terus menggantung di
langit. Agama harus diterjemahkan dalam bentuk yang dapat dipahami dan
dipraktikkan oleh masyarakat penerimanya.
Ajaran pokok yang ketujuh: Nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh
telah menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan.
Oleh karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa
yang menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak
perlu nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk
membedakan dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk
atau salah sebut.
Bagi Syekh
Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan yang
terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan tegas
pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan
nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa
Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya
yang lain.
Sungguh,
sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara
teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa.
Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam (seperti yang terjadi di
Malaysia) malah meminta orang yang
beragama lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama
lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita (yang Muslim) menolak
pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita
mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah
waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang
tanpa isi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai
ketuhanan dengan benar itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang
Indonesia , menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar
merupakan penegakan Sila yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar