*
Kaweruh Jendra Hayuningrat sulit
didefinisikan, secara sederhana Kaweruh Jendra Hayuningrat dapat diartikan :
mengenal Sang Hyang Agung. Namun Kaweruh Jendra Hayuningrat tidak hanya sekedar tahu (to
know), melainkan juga harus memahami (to understand), menghayati
(to perceive), meyakini (to believe firmly in) dan
mengamalkan (to apply).
Kaweruh Jendra
Hayuningrat itu adalah ilmu
sekaligus ngelmu. “Ngelmu” (bahasa Jawa) artinya pengetahuan
yang memiliki unsur penghayatan, keyakinan dan pengamalan, berbeda dengan
“ilmu” yang diartikan sekedar cukup dibaca dan diketahui. Ungkapan Jawa “Ngelmu
iku kelakon kanthi laku” (“ngelmu” itu dapat terwujud apabila diamalkan)
itu berarti bahwa “ngelmu” tidak cukup hanya diketahui, melainkan juga harus
dihayati dengan baik, diyakini dengan mantap dan diamalkan dengan tekun.
Kaweruh Jendra
Hayuningrat atau Kaweruh “mengenal Sang Hyang Agung” wajib hukumnya bagi setiap
insan / orang. Setiap insan harus mengenal Sang Penciptanya. Sumber dan muara
dari segala yang ada. Beragama tanpa mengenal Robbynya ibarat berlayar tak tahu
hendak kemana. Ibarat berkelana tak tahu sekarang dimana. Ibarat merantau di
alam dunia tak tahu mencari siapa. Maka mengenal Sang Hyang Agung merupakan
rukun iman pertama, yang memiliki kedudukan yang paling tinggi bagi setiap
insan, khususnya bagi yang memeluk agama sebagai jalan spiritualnya.
Bagi saudara-saudara
muslim, sebelum Anda menegakan sholat, puasa, zakat dan haji terlebih dulu
bersyahadat. Syahadat yang artinya kesaksian, adalah titik awal Kaweruh Jendra
Hayuningrat. Namun tidak semua orang yang bersaksi (syahadat) mengerti yang
dipersaksikannya (di-syahadati).
Pada suatu hari seorang santri sedang
melangsungkan hajatan pernikahan. Pada saat akan akad nikah, Sang kyai berkata
: “aku ingin cucuku yang berusia 7 tahun ini menjadi saksi dalam akad nikah
ini!” tentu saja segenap orang tua yang hadir di majelis akad nikah kaget
dan keberatan dengan usulan tersebut, namun sang Kyai tetap ngotot. “Mengapa
tidak boleh? Cucuku ini sudah menjalankan sholat dan bisa baca Quran.”
tambahnya. “Tapi kyai, meskipun begitu, tetap saja dia masih terlalu kecil
untuk dijadikan saksi, ia belum mengerti apa yang sedang sejatinya ia
persaksikan dalam akad nikah ini, bagaimana mungkin dijadikan saksi!”
sanggah para orang tua. Lalu sang kyai menjawab : ”sebenarnya begitu juga
keadaan kalian, setiap hari mengucap Syahadat (kesaksian) namun sejatinya tidak
tahu apa yang sedang dipersaksikan (disyahadati)”.
Begitulah sang kyai yang
tak lain adalah seorang pinisepuh Kaweruh Jendra, pagi itu sebenarnya hanya
hendak memberi sebuah pelajaran (Kaweruh) kepada para jama’ahnya. Kaweruh Jendra
Hayuningrat atau “mengenal Sang Hyang
Agung” adalah fondasi bagi setiap umat beragama. Adalah jalan
menuju Sang Hyang Agung atau Sang Hyang Wenang. Adalah tujuan
dalam hidup manusia. Maka Kaweruh Jendra Hayuningrat (mengenal Sang Hyang Agung) adalah titik
awal dan titik akhir bagi insan beragama ( yang Alfa
dan yang Omegah). Oleh sebab itu tidaklah tepat bila ada ungkapan : “jangan
mengajarkan ma’rifat sebelum murid belum benar-benar menjalani syariat,
hakikat, toriqot”. Ma’rifat adalah titik awal dan titik akhir. Sebelum
seorang hamba menjalankan syariat, tarikat dan hakikat ia harus tahu dulu
siapakah Robbnya (ber-Kaweruh Jendra Hayuningrat / mengenal Tuhannya). Begitu-pula saat
menjalankan syariat, tarikat dan mendalami hakikat semua tetap difokuskan ke
jalan Kaweruh Jendra Hayuningrat .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar