I.
Pendahuluan
Pemahaman manusia akan alam semesta semakin
bertambah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dan kemajuan ilmu dan
teknologi. Namun, manusia sebagai pelaku sejarah, tidak akan mampu untuk
meninggalkan sejarahnya sendiri. Sejarah dimana manusia memulai kehidupannya,
manusia memulai untuk berkarya, manusia memulai untuk menciptakan hal-hal yang
teknologis.
Disamping itu, manusia sebagai pelaku budaya
juga tak dapat lepas dari kelangsungan kebudayaan dimana dia berada. Termasuk
manusia yang hidup di Indonesia. Terlebih lagi di Jawa. Berbagai budaya terus
dijaga kelestariannya. Termasuk penanggalan yang ditinggalkan oleh Sultan Aji
Soko. Penanggalan masa itu masih menggunakan sistem penanggalan Hindu-Budha
karena pada masa itu Islam belum berkembang di Jawa. Maka dikenal dengan
penanggalan atau Kalender Ajisoko (Jawa). Sistem Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila
dibandingkan dengan sistem penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya
adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan
pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh
kepada pranatan kehidupan manusia. Sistem Penanggalan Jawa disebut juga
Penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan bedasarkan
peredaran Bulan mengitari Bumi. Petungan penanggalan Jawa sudah dicocokkan
dengan penanggalan Hijriah. Namun demikian pencocokkan ini bukanlah menjiplak
sepenuhnya juga mempergunakan perhitungan yang rumit oleh para leluluhur kita.
II.
Pembahasan
A. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas, maka pembahasan dalam makalah ini akan dititikberatkan pada rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Sejarah dan Pengertian Penanggalan Jawa
2. Pemikiran Penanggalan Jawa
3. Cara Penghitungan Penanggalan Jawa
B. Pembahasan
1. Sejarah dan
Pengertian Penanggalan Jawa
Di pulau Jawa
khususnya, pernah berlaku sistem penanggalan Hindu, yang dikenal dengan
penanggalan “Soko”, yakni sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran
matahari mengelilingi bumi. Permulaan tahun soko ini ialah hari Sabtu ( 14
Maret 78 M ), yaitu satu tahun setelah penobatan prabu Syaliwahono ( Aji Soko )
sebagai raja di India. Oleh sebab itulah penanggalan ini dikenal dengan
penanggalan Soko[1]. Mula-mula tahun Jawa dihitung dengan peredaran
matahari dan berwindu 30 tahun dengan nama tahun Hindu-Jawa (Saka). Sejarah
pemikiran hisab rukyah mazhab tradisional ala Islam-Jawa ( Kejawen ) atau dalam
bahasa Geertz disebut Religion of Java,[2] ini berasal dari pemikiran (kalender) Aji
Saka yang dimulai pada tahun tanggal 14 Maret 78 masehi. Kalender Aji
Saka ini diperbaharui oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo[3], yakni disesuaikan dengan perhitungan Lunar
(Qomariyah) dan tidak lagi menggunakan sistem perhitungan Solar
(Syamsiyah). Peralihan tersebut terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 (tahun Jawa),
sedangkan perputaran tahunnya diubah per windu 8 tahun[4].
Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender
Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7
hari seperti yang kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan
Agung yang berusaha
keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat
itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender qamariah atau
lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035
H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas
kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa. [5]
2. Pemikiran Penanggalan Jawa
Pada tahun 1633 M
bertepatan dengan tahun 1043 H atau tahun 1555 Soko, Sri Sultan Muhammad yang
terkenal dengan Sultan Agung Anyokrokusumo yang bertahta di mataram, mengadakan
perubahan dalam sistem penanggalan Jawa. Perubahan itu menyangkut sistemnya
tidak lagi berdasarkan pada peredaran matahari melainkan didasarkan pada
peredaran bulan disenyawakan dengan sistem perhitungan tahun hijriyah, sehingga
nama-nama bulan ditetapkan dengan urut-urutan sebagai berikut; Suro, Sapar,
Mulud, Bakdomulud, Jumadil Awal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal,
Dulkangidah( selo), dan Besar. Sedang tahunya masih menggunakan tarikh Jawa
yaitu tahun Soko. Disamping itu terdapat juga sistem perhitungan yang berbeda, Bulan-bulan ganjil berumur 30 hari. Sedangkan
bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali bulan ke 12 (besar) berumur 30 pada
tahun panjang. Satu tahun berumur 354,375 hari ( 354 3/8 hari), sehingga daur (
siklus) penanggalan Jawa ini selama 8 tahun ( 1 windu) , dengan ditetapkan
bahwa pada urutan tahun ke 2, 5 dan 8 merupakan tahun panjang ( Wuntu = 355
hari ). Sedangkan lainya merupakan tahun pendek ( Wastu = 354 hari).
Urut-urutan tahun
dalam satu windu itu diberi lambang dengan huruf Arab abjadiyah, yaitu:
- tahun pertama =
Alip ( ﺍ
)
- tahun kedua =
Ehe ( ﻫ
)
- tahun ketiga =
Jim Awal ( ﺝ )
- tahun keempat =
Ze ( ﺯ )
- tahun kelima =
Dal ( ﺩ )
- tahun keenam =
Be ( ﺏ )
- tahun ketujuh = Wawu ( ﻭ )
- tahun kedelapan = Jim Akhir ( ﺝ )
Akibat dari ketentuan satu windu yang panjangnya 8 tahun itu 2835
hari, maka dalam 30 tahun akan menjadi
10631 lebih ¼ hari. Dengan demikian sistem perhitungan ini lebih panjang
dari sistem tahun hijriyah sebanyak ¼ hari. Maka selama 120 tahun sistem baru
akan mengalami pengunduran waktu selama satu hari dibandingkan dengan sistem
perhitungan tahun hijriyah. Oleh sebab itulah ditetapkan pemotongan hari pada
tiap-tiap tahun yaitu; dengan menghitung bulan besar yang semestinya berumur 30
hari dihitung 29 hari.
Terdapatlah catatan-catatan sebagai berikut:
- · Suro alip tahun 1555 soko menjelang tahun 1627 jatuh pada hari jum’at Legi
- · Mulai permulaan tahun 1627 sampai menjelang tahun 1747 satu suro alip jatuh pada hari Kamis Kliwon ( Amiswon).
- · Mulai permulaan tahun 1747 hingga menjelang tahun 1867 satu suro alip jatuh pada hari Rabu Wage ( Aboge).
- · Mulai permulaan tahun 1867 hingga menjelang tahun 1987 satu suro alip jatuh pada hari Selasa Pon ( Asapon).
Dari
keterangan-keterangan tersebut terlihatlah pemotongan-pemotongan hari pada
tiap-tiap 120 tahun. Pemotongan itu diharapkan agar sistem perhitungan itu
dimaksud supaya sesuai dengan sistem peredaran bulan. Kemudian untuk menghitung
jumlah hari dalam sistem perhitungan tahun jawa ini dipatuhilah
ketentuan-ketentuan sebagai berikut; selisih tetap tahun hijriah dengan tahun
jawa sebanyak 369.251 hari, selisih ini adalah selisih hari pada satu Muharram
1555 Soko dengan jumlah hari tahun hijriyah. Disamping itu hendaknya
diperhitungkan pemotongan-pemotongan yang didahului sejak 1555 Soko sampai
tahun 1912 yaitu sebanyak 3 hari.[6]
Ada perbedaan yang hakiki antara sistim perhitungan penanggalan Jawa dengan
penanggalan Hijriah, perbedaan yang nyata adalah pada saat penetapan pergantian
hari ketika pergantian bulan. Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian
hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap yaitu pada saat matahari
terbenam (surup – antara pukul 17.00 sampai dengan 18.00), sedangkan pergantian
hari ketika pergantian bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan melalui Hilal
dan Rukyat.
Pada
tahun 1855 Masehi, karena penanggalan qomariah dianggap tidak
memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim
atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata
mangsa, dikodifikasikan oleh Sri
Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya
ditetapkan secara resmi. Sebenarnya pranata mangsa ini adalah pembagian
bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada zaman pra-Islam. Lalu oleh beliau
tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi
lama setiap mangsa berbeda-beda.[7]
No.
|
Penanggalan
Jawa
|
Awal
|
Akhir
|
1
|
|||
2
|
3 Agustus
|
||
3
|
Katiga (Katelu)
|
||
4
|
|||
5
|
|||
6
|
|||
7
|
|||
8
|
|||
9
|
|||
10
|
|||
11
|
|||
12
|
Orang
Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari
saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pancawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas
lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut
sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari:
1.
Legi
2.
Pahing
3.
Pon
4.
Wage
5.
Kliwon
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga
dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30
pekan. Setiap
pekan disebut satu wuku dan
setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total
berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri
atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.[8]
C. Cara Penghitungan
Penanggalan Jawa
Sebagai contoh, dibawah ini akan dikemukakan cara
menghitung jumlah hari menurut sistem perhitungan tahun jawa[9].
o
Satu Suro 1913 soko
berapakah jumlah harinya?
Dari ketentuan itu kita dapat melihat bahwa hari berjalan sebanyak
1912 tahun + 0 bulan + 1 hari. Akan tetapi sistem berlaku sejak tahun 1555,
maka 1913 dikurangi 1555 = 358 tahun
358 th : 8 = 44 daur ( lebih
6 tahun)
44 daur = 44 x 2835
hari =
134740 hari
6 tahun = 6 x 354 +
2 hari = 2126 hari
1Suro = = 1 hari +
126867
hari
Pemotongan hari sejak 1555 sampai 1912 = 3 hari –
126864
hari
Selisih tetap tahun Jawa =
369251 hari +
Jadi bilangan hari pada tanggal 1 Suro 1913 soko = 496115 hari,
Apabila bilangan
hari disini dari tahun hijriyah maka dilakukan perhitungan sebagai berikut:
1 Suro 1913 soko =
496115 hari
Selisih tetap tahun hijriyah dan Jawa = 369251 hari –
Sisa
= 126864 hari
Sisa ini ditukar dengan sistem perhitungan hijriyah, hasilnya
ditambahkan dengan 1042 tahun.
126864 : 10631 = 11 daur ( lebih 9923 hari)
11 daur =
11 x 30 = 330 tahun
9923 : 354 = 28 tahun ( lebih 11 hari – 10)
1 hari = 1 hari
Maka jumlah itu =
358 tahun + 1 hari
Pada menjelang tahun 1555 soko =
1042 tahun
Jumlah =
1400 th + 1 hari
Maka satu Suro 1913 soko jatuh pada tanggal 1 Muharram 1401 H.
III.
Kesimpulan
Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila
dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya
adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan
pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh
kepada pranatan kehidupan manusia.
IV.
Penutup
Semoga tulisan dalam blog ini mampu menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan menuju yang
diharapkan.
Sebelum beranjak dari halaman ini, saya sangat senang sekali jika Anda bersedia
meluangkan sedikit waktu untuk memberi Like dan Share serta G+1 pada
artikel ini, dengan demikian artikel ini juga dapat dibaca oleh sahabat, teman
dan orang terdekat Anda serta orang yang membutuhkannya. Sekaligus
mendukung kami dalam mengikuti kontes blog yang di adakan dan di dukung oleh :
Untuk
menambah wawasan, kunjungi juga blog Jendro lainnya :
Daftar Pustaka
- - Izzuddin, Ahmad. 2006. Fiqh Hisab Rukyah Kejawen, Semarang: IAIN Walisongo,
- - Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. 1981. Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
- - Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya
- - Khazin , Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : Buana Pustaka.
- - Aliy, Muh. Choeza’i. 1977. Pelajaran Hisab Istilah Untuk Mengetahui Penanggalan Jawa Islam Hijriyah dan Masehi. Semarang : Ramadhani
- - MUI Daerah Istimewa Yogyakarta. 1987. Kalender Islam Sultan Agung adalah Kalender Nasional, Yogyakarta : Offset
- - http://id.wikipedia.org./wiki Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kalender Jawa
[1] Khazin , Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak dalam Teori dan
Praktek. Yogyakarta : Buana Pustaka. Hal 116.
[2] Mengenai pemikiran Islam Jawanya Geertz dapat dilihat dalam Clifford
Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta :
Pustaka Jaya, 1981. di kutip dari Ahmad Izzuddin Fiqh Hisab Rukyah Kejawen,
Semarang: IAIN Walisongo, 2006, hlm.2.
[3] Sri Sultan Muhammad Sultan
Agung Prabu Hanyokrokusuma adalah raja pada kerajaan Mataram II pada tahun 1613
– 1645 M, lihat MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalender Islam Sultan Agung
adalah Kalender Nasional, Yogyakarta : Offset, 1987, hlm. 12.
[4]
Muh. Choeza’i Aliy, Pelajaran Hisab Istilah Untuk Mengetahui
Penanggalan Jawa Islam Hijriyah dan Masehi, Semarang: Ramadhani, 1977, hlm.6
[5] Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kalender Jawa. Diakses pada hari
Sabtu 09 April 2011 pkl. 15.27 wib.
[6] Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama. 1981. Almanak
Hisab Rukyat. Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam hal. 45-46
[7] http://id.wikipedia.org./wiki, Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Kalender Jawa. Diakses
pada hari Sabtu 09 April 2011 pkl. 15.27 wib.
[9] Almanak Hisab Rukyat, Op.Cit hal. 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar