Bersyukur Yang Egois
Rahayu....!
Dalam
upaya mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan, manusia sering melakukannya secara
egoistis. Di mulutnya mengucapkan hamdalah atau Puji Tuhan atau
kalimat-kalimat lainnya. Namun kalimat itu hanya sebatas mulut saja (lips service). Sedangkan hatinya,
pikirannya, dan perbuatannya tidak menunjukkan adanya harmonisasi dan
sinergisme dengan kalimat syukur yang keluar dari mulut. Kita seharusnya selalu
eling dan waspada, karena beginilah bentuk kemunafikan paling halus yang sering
tidak disadari oleh manusia.
Pencapaian
kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang
tak pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah Tasawuf merupakan bentuk
zikir tanpa putus, sedangkan dalam tradisi SSJ ( Syekh Siti Jenar ) dikenal
sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan dalam setiap hela nafasnya.
Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas ucapan mulut
atau dalam batin saja. Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk perbuatan
yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama
manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat
unsur dalam diri kita yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan. Dan dilakukan
secara sinkron serta kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut.
Ciptakan Medan Magnet
Rasa
syukur serta ketulusan-keikhlasan idealnya didasari oleh kesadaran bahwa setiap
detik kita telah berhutang ratusan anugrah dan nikmat Tuhan. Berbuat baik
hendaknya didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan rasa syukur tersebut ke
dalam perbuatan konkrit. Perbuatan atau amal baik yang kita lakukan ibarat kita
sedang membayar hutang. Bagaimana mungkin kita membayar hutang akan tetapi kita
meminta imbalan? Nah, Perlu diketahui, walaupun laku perbuatan kita dilandasi
sikap tanpa pamrih, alias tulus ikhlas. Hal ini bukan berarti bahwa apa yang
kita lakukan hanyalah sebuah sia-sia’an belaka bahkan seola-ola tidak ada efek
positifnya. Perlu di pahami, perbuatan baik kita (ibadah yang berupa sembahyang
dan amal perbuatan baik) ditujukan semata-mata sebagai laku netepi titahing Gusti. Artinya, sudah sewajarnya manusia hidup
di bumi berbuat baik. Oleh karena itu tidak ada yang istimewa di dalamnya.
Apabila perilaku baik itu dilakukan tanpa diminta/dimohon dan dilakukan dengan
tulus, hal ini ibarat menciptakan pusaran magnet yang mampu secara otomatis
menebarkan medan magnet (kebaikan) kepada orang lain lalu mengundang senyawa
(kebaikan) yang sama.
Inilah
rumus Tuhan atau kodrat alam. Secara otomatis rumus Tuhan akan berjalan dengan
sendirinya, bahwa perbuatan baik akan memancarkan sekaligus mengundang segala
kebaikan datang menghampiri diri kita. Sebaliknya perbuatan jahat akan
mendatangkan keburukan pada diri kita. Kebaikan yang menghampiri berupa
kemuliaan hidup (surga) di dunia maupun setelah kita terlahir ke dalam
kehidupan yang sejati dan abadi. Sebaliknya keburukan yang menghampiri berupa
kehidupan yang hina dan aniaya (neraka). Jika kita mau mencermati kitab Sastra
Jendra yang tergelar di jagad gumelar ini, bukankah sudah tampak rumus-rumus
dengan jelas. Bahwa tiap-tiap senyawa yang sama memiliki kekuatan untuk saling
menyatu. Maka terdapatlah berbagai macam aliran, faham, kepentingan yang bersifat
konstruktif maupun destruktif masing-masing menyatu dalam wadah kelompok atau
golongan yang sama dan senyawa. Melingkupi yang wadag maupun yang gaib. Maka
marilah kita bahu membahu menciptakan medan magnet yang mulia, untuk kelestarian alam semesta ini...inilah yang secara turun temurun di ajarkan kepada anak cucu Nusantara melalui budaya...Rahayu...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar