Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah
Rahayu....!
Terdapat pula kesalahan memaknai
mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang selalu
berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam. Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan
seorang dukun santet, itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata untuk
memanggil sekutunya yakni sejenis jin, setan atau makhluk gaib sebagai pesuruh
agar mencelakai korbannya. Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini, bukan
termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri? Baiklah, berikut
ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra
(teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak dicap
menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono & Rat, serta Pangruwating Diyu
Di di tulisan sebelumnya telah kami singgung sedikit
mengenai prana, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi vertikal-horisontal,
mikro-makro kosmos, inner wolrd
dengan alam semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah
satu bentuk pendayagunaan prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya siapapun
yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk hal-hal yang
negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan waspada. Sikap eling dan
waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud
mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan
kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai
upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal
dan vertikal dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian
dalam pergumulan laku spiritual Sastra
Jendra sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna dibalik Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning
bawono, lan pangruwating diyu. Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa
tingkat tinggi yakni Sastra jendra hayuning Rat, pangruwating
diyu. Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks
kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu
hayuning Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi
pekerti luhur (Hangawula kawulaning
Gusti/Pangruwating diyu), keduanya berpangkal dan berujung pada panembahan
kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu
hayuning Rat). Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni;
jagad kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan dalam pada tingkat
tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam berbagai kearifan
budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya; upacara ruwat bumi
seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan sebagainya. Atau berbagai upacara
kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa
kebersamaan dalam manembah pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan
kekuatan hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra) yakni sastra jendra yang
berfungsi membangun keseimbangan (balancing)
dan keselarasan (harmonic) antara
aura spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad raya seisinya. Tujuan utama
dari balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik
maupun bid’ah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi do’a untuk mohon
keselamatan bagi alam semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman semakin
berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi, telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri.
Alasannya demi mikul duwur mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau takut
oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak berdasarkan metode
ilmiah maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang tragis! Tradisi
yang masih dapat dijalankan pun akhirnya hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah
melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya yakni menyatukan prana kehidupan.
Sebaliknya tradisi tersebut hanya sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi
kebiasaan yang diulang-ulang (custom),
pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis laku
dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh dan
lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya.
Itulah, wujud sejati wong Jawa kang
kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi seteru
Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni harmonisasi dan
keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam semesta berakibat
fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri, hujan salah musim,
jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir,
tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai banyak
kering, satwa liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi musim
mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk), serangan hawa panas dan hawa
dingin secara ekstrim (el-nino & la-nina).Rahayu....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar