Rahayu...!
Jika
rasio kita mengetahui bahwa jagad raya ini sangat luas meliputi milyaran
bintang, dan jumlah galaksi yang banyak, bahkan manusia belum menemukan sampai
di mana batas tepi dari jagad raya ini, maka konsep manusia memahami bahwa
Tuhan Mahabesar dan Mahaluas Tiada-batas. Dikiaskan sebagai gigiring punglu,
atau samodra tanpa tepi. Maka konsekuensi dalam sikap perbuatan hendaknya kita
berjiwa besar, toleran, tidak sempit akal, selalu membuka wawasan pikir yang
seluas-luasnya. Sikap kita akan lebih arif dan bijak. Tidak suka melakukan
prejudis, penilaian sepihak dan vonis subyektif. Tidak pula menghina dan
melecehkan yang bodoh. Menghargai pendapat orang lain, serta tidak gengsi
berguru kepada siapapun termasuk kepada orang yang dianggap bodoh sekalipun.
Bersedia belajar melalui bahasa alam, mau mengambil hikmah dari perilaku
positif seekor binatang, yang hina sekalipun. Semua itu berangkat dari
kesadaran bahwa Tuhan telah menggelar bahasa dan tanda-tanda kekuasaanNya di
setiap jengkal jagad raya ini tanpa kecuali. Sebaliknya, sikap perlawanan
terhadap hukum alam atau kodrat Tuhan dapat berwujud sikap fanatisme atau
anti-toleran, sikap golek menange dewe
(cari menangnya sendiri), golek benere
dewe (cari benernya sendiri), mbang
cinde mbang siladan (pilih kasih), primordialisme agama, rasis,
etnosentris. Sikap-sikap tersebut merupakan sikap kontra-sinergi, atau
disharmoni antara microcosmos dengan macrocosmos. Hal ini akan mengurung
kesadaran diri (self consciousness)
stagnan pada kesadaran imitasi yang membuat diri tidak pernah beranjak belenggu
kejahiliahan, yang tanpa pernah kita sadari bersemayam dalam otak, hati, dan
batin kita. Orang-orang dalam kesadaran palsu akan cenderung merasa diri
sebagai manusia paling suci, alim, soleh, solikhah dan memandang orang lain
lebih rendah, kafirun, hina dan
sesat. ( aja rumangsa pinter, ning pintera rumangsa)
3. Jika
kita percaya bahwa Tuhan Maha Pemurah, sebab dalam setiap detik kita dapat
menyaksikan bahwa anugrah Tuhan sulit dihitung jumlahnya. Kesadaran konsep demikian hendaklah
ditindak-lanjuti dengan laku spiritual atau laku batin yang dimanifestasikan
dalam perbuatan konkrit sehari-hari kepada sesama. Sebagai konsekuensinya kita
menjadi orang yang murah hati. Tidak enggan melakukan tapa ngrame, gemar
membantu dan menolong orang lain secara ikhlas tanpa pamrih. Kecuali hanya
sebagai upaya menghayati konsep-konsep ketuhanan, atau netepi titahing Gusti
(insan kamil). Giat bekerja dan giat beramal. Harta yang berlebih bukan untuk
berfoya-foya dan tidak untuk mengumbar nafsu ragawi. Sebaliknya jika kita lebih
banyak harta maka kita akan lebih leluasa dan memiliki kemampuan membantu
pihak-pihak yang kekurangan dan membutuhkan. Jika kita banyak ilmu tidak segan
dan pelit untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Perilaku disharmoni dan
a-sinergi antara microcosmos dengan macrocosmos, bilamana manusia memiliki
mental kere atau etos pengemis. Inginnya selalu diberi, dikasihani, dilindungi,
pelit merkedit dst. Kurang memiliki kepekaan sosial, egois (keakuan), oportunis
(mencari untungnya sendiri/golek butuhe
dewe). Jika tidak ada imbalan mereka enggan menolong dan membantu sesama. Rahayu...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar