Pada hari Selasa Wage malam Rabu
Kliwon tanggal 12 suro atau Muharram tahun 1805 Jimawal bertepatan dengan
tanggal 8 Februari 1876, Raden Mas Iman Soedjono meninggal dunia tepat pada
pukul 24.00 tengah malam. Hal ini pun diabadikan dalam prasasti didepan pendopo
makam dalam untaian condro sengkolo yang berbunyi : SWORO SIRNO MANGESTI
MANUGGAL. Condro sengkolo tersebut mempunyai arti : Sworo bernilai 5, Sino
bernilai 0, Mangesti bernilai 8 dan Manunggal bernilai 1. Jadi susunan angka
dalam condro sengkolo tersebut dibalik, akan didapatkan angka 1 8 0 5, yaitu
tahun meninggalnya Raden Mas Iman Soedjono. Kemudian jenazah beliau dikebumikan
dalam satu liang lahat dengan almarhum Mbah Mbah Djoego. Hal ini dilakukan
sesuai dengan wasiat Mbah Djoego yang pernah menyatakan bahwa bilamana kelak
keduanya telah wafat, meminta agar supaya dikuburkan bersama dalam satu liang
lahat, mengapa demikian ? Hal tersebut rupanya mengandung maksud sebagai dua
insan seperjuangan yang senasib sependeritaan, seazas dan satu tujuan dalam
hidup, sehingga mereka selalu berkeinginan untuk tetap berdampingan sampai ke
alam baqa. Disamping itu terdapat beberapa alasan yang mendasari keinginan itu,
ialah : Kedua beliau itu adalah sejawat seperjuangan mulai dari titik awal,
dalam suasana duka maupun suka, semasa bersama – sama bergabung dalam lasykar
Diponegoro sampai pada titik terakhir. Mbah Djoego tidak beristri apalagi
berputra. Raden Mas Iman Soedjono sudah dinyatakan sebagai Putra Kinasih serta
penerus kedudukan Mbah Djoego ( sebagai pengganti Mbah Djoego ).
Namun
di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini pun sangat
beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan leluhur, melakukan
penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah kunjungan ziarah untuk
memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul. Wisata Ziarah Pesugihan Gunung
Kawi "Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya." Pepatah populer di
kalangan warga Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa
Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer.
Kawi bukan gunung tinggi, hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi
gunung ini menjadi objek wisata utama masyarakat Tionghoa. Tiap hari ratusan orang
Tionghoa, termasuk orang pribumi naik ke Gunung Kawi. Masa liburan plus cuti
bersama Lebaran ini sangat ramai.
Karena
terkait dengan kepercayaan Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan
dengan hari-hari pasaran Jawa: Jumat Legi, Senin Pahing, 1 Suro, dan Tahun
Baru. "Pokoknya selalu ramai, Mas," ujar salah satu seorang pemandu
wisata. Pemberitahuan itu memang tidak salah, saat berjalan kaki sejauh satu
kilometer menuju pusat wisata utama (makam dan kelenteng), terlihat lautan
manusia. Macam pasar malam. Pengemis ada sekitar seratus orang (anak-anak
sampai orang tua). Toko-toko souvenir berdempetan hingga pesarehan. Penginapan,
kata Syaikoni, lebih dari 10 buah, dengan tarif Rp 30.000 hingga Rp 200.000.
Restoran Tionghoa yang menawarkan sate babi dan makanan tidak halal (buat
muslim) cukup banyak. Tukang ramal nasib. Penjual kembang untuk nyekar. Penjual
alat-alat sembahyang khas Tionghoa. Belum lagi warung nasi dan sebagainya.
"Gunung kok ramai begini kayak di kota?" tanya salah seorang
pengunjung yang baru pertama kesana pada Syaikoni. "Gunung Kawi yang begini
ini. Fasilitasnya sudah direnovasi oleh yayasan, ya, pakai uang sumbangan
pengunjung.
Mereka yang dapat rezeki, usahanya lancar, sumbang macam-macam.
Akhirnya, dibuat bagus seperti sekarang," tutur Syaikoni, 33 tahun, asli
Wonosari. Dia sudah beberapa tahun menjadi pemandu wisata sekaligus pembawa
barang-barang pengunjung. Syaikoni tahu banyak seluk-beluk Gunung Kawi. Usai
kunjungan, kita bebas memberikan tips kepadanya. Tidak pakai tarif-tarifan buat
guide ala Gunung Kawi. Apa yang dicari orang-orang di Gunung Kawi? Kekayaan?
Rezeki? Usaha lancar? Macam-macam niat orang. "Ya, kita olang mo beldoa
semoga dikasih rejeki. Pokoke, usaha kita olang lancal lah," ujar seorang
ibu asal Surabaya dengan logat khasnya tionghoa. Jawaban sejenis disampaikan
pengunjung lain. Karena itu, warga Jawa Timur kerap mencitrakan Gunung Kawi
sebagai tempat pesugihan. Tapi, bagi kalangan kejawen, penggiat budaya Jawa,
Gunung Kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestarian budaya Jawa.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar